Minggu, 21 Maret 2010

Sleeping with enemy - part 1

Seperti malam minggu lainnya, Sanctuary – sebuah club exclusive di daerah Jakarta Utara – sudah dibanjiri tamu. Yang datang bukan orang sembarangan melainkan sekelas konglomerat yang biasa muncul di media massa dan televisi. Mereka pun tidak datang sendirian melainkan disertai beberapa pengawal pribadi. Beberapa di antara mereka membawa cewek sendiri yang penampilannya tak kalah cantik dan keren dari bintang sinetron papan atas.

“Tamu penting sudah datang.”

Bisikan serak di telingaku membuatku terlonjak kaget. Sialan! Kenapa sih Pak Dibyo senang sekali mengagetkanku. Padahal aku juga sudah melihat seorang pria berwajah angkuh yang baru saja memasuki ruang VIP. Budi Lukman namanya. Konglomerat berusia empat puluh satu tahun yang memiliki bisnis segudang, mulai dari pabrik kondom sampai tambang batu bara. BL – begitu ia biasa disebut – dikenal sebagai konglomerat berdarah dingin. Ia melibas pesaing tanpa ampun dan menghajar semua pihak yang dianggap menghalangi geraknya.

Delapan pengawal berambut cepak dan bertubuh kekar selalu mengelilingi BL. Selain itu ada pula seorang lelaki ngintil persis di belakangnya, namanya Bandi Lukman. Wajah keduanya seperti pinang dibelah dua karena keduanya memang kembar, tapi aura yang memancar dari keduanya bertolak belakang. Bila BL tampak dingin dan berkarisma maka Bandi terlihat klemer dan tolol. Cengiran konyol tak lepas dari bibirnya membuatnya terlihat seperti orang terbelakang.

“Kasihan ayam-ayam itu,” desah Pak Dibyo sambil menggeleng prihatin saat melihat Bandi menggandeng dua cewek cantik berkulit kuning pucat dengan rambut lurus berwarna karamel. “Mereka nggak akan bisa pulang ke Cungkuo dengan utuh kalau sudah dipegang orang sadomasokis macam Bandi itu.”

Hah? Orang klemer itu sadomasokis? Aku tak sempat melongo lama-lama karena kulihat empat ayam koleksi premium Sanctuary segera mengerumuni BL. Aksi keempat bidadari itu sedikit terhalang oleh ketatnya pagar betis yang memagari BL, tapi tak lama kemudian tangan BL menunjuk salah satu diantaranya dengan gaya angkuh. Tanpa sadar aku mengernyitkan kening saat memikirkan bagaimana cara aku bisa mendekati bajingan sombong itu. Waktu yang kumiliki tidak banyak. Selama hampir sebulan di sini baru kali ini kulihat BL sedangkan aku tidak tahan berada dalam tempat keparat ini lebih lama lagi.

Tubuhku berjengit saat tangan Pak Dibyo menggerayangi punggungku. Kontan aku beringsut menjauh, tapi jari-jari gemuknya yang dililit cincin bermata berlian dan batu giok mencekal lenganku dengan kuat hingga aku meringis menahan sakit.

“Apa aku menggajimu hanya untuk menonton?”

Desisannya terasa panas di telingaku disusul jilatan menjijikkan di daun telingaku. Aku bergidik sekaligus menggeleng seraya berusaha melepaskan diri, tapi pemilik Sanctuary ini malah menarikku dengan kasar hingga hidung kami hampir beradu.

“Kau sudah sembuh dari mencret dan harusnya hari ini kau sudah nggak mens lagi. Sudah seminggu lebih kan? Aku nggak puas cuma dioral. Aku mau ngerasain mem*kmu malam ini juga.”

Saat itu juga aku ingin muntah, persisnya memuntahi muka si babi mesum ini. Aku benci sekali bila harus diingatkan pada kewajiban mengoral penis bos Sanctuary ini tiap malam. Dia memang selalu mencobai mem*k semua karyawannya dan selama ini aku menghindar dengan berbagai alasan. Cukup sudah penis buntek itu menjadi kont*l pertama yang memasuki mulutku, tapi tidak untuk liang vaginaku.

Untung saja saat itu salah seorang bodyguard BL melambaikan tangan memanggil waitress untuk memesan minuman dan kebetulan aku yang berdiri paling dekat dengan meja mereka. Tanpa banyak kata Pak Dibyo melepaskan lenganku, tapi tangannya masih sempat meremas pantatku dengan gemas. Darahku mendidih. Aku langsung nekat menjalankan rencanaku meski nyawaku menjadi taruhannya. Lebih baik mati daripada harus ditiduri babi mesum brengsek itu. Aku tahu, seharusnya aku berpikir panjang supaya tidak menyesal nantinya. Aku masih muda, baru 24 th. Masih banyak hal yang bisa kunikmati dalam hidup daripada mati konyol, tapi aku sudah mantap berjibaku.

Hatiku bersorak gembira begitu mendengar BL memesan Flaming Ferraris. Sudah kuduga BL pasti akan memesan minuman favoritnya. Minuman beralkohol pekat yang disajikan dalam sloki itu harus dibakar sebelum diminum untuk mengurangi kadar alkohol agar tidak membakar tenggorokan yang meminumnya. Tapi kali ini minuman itu akan membakar sang pemesan. Aku ingin bajingan angkuh itu merasakan bagaimana rasanya mati terbakar seperti yang dia lakukan pada papaku empat bulan yang lalu.

Papaku bersaing ketat dengan BL dalam memperebutkan konsesi batu bara di Kalimantan. Setelah menerima berbagai intimidasi dan tidak juga mau mundur, papaku tewas mengenaskan. Helicopter yang ditumpanginya mendadak meledak sesaat sesudah lepas landas. Seharusnya aku juga ikut mati, tapi di saat terakhir aku membatalkan keberangkatanku karena tak ingin duduk bersama dengan ayam piaraan papa yang selalu mengataiku karung beras. Papaku memang bukan orang suci. Dia buaya tulen sampai mamaku mati karena sakit hati saat aku masih kecil. Tapi papa tak pernah menikah lagi dan berusaha mengasuh anak tunggalnya sebaik mungkin sembari mencicipi berbagai jenis ayam.

Semua orang mengira aku sudah mati. Mereka pikir ayam hangus dalam bangkai helicopter itu mayatku. Aku terpaksa bersembunyi sambil menyusun rencana membalas dendam. Kemarahanku makin menggunung melihat harta warisan papa yang seharusnya menjadi milikku dicaplok BL tanpa ada perlawanan sama sekali dari keluarga besarku yang pengecut.

Namun membalas dendam pada bajingan yang dibeking aparat, memiliki pengacara segudang dan dikawal sepasukan bodyguard tidaklah mudah. Setelah mengikuti gerak-gerik BL selama sebulan penuh, aku tahu penjagaan terlemah adalah saat dia berada di Sanctuary. Maka aku pun nekat menyamar sebagai waitress di sini.

“Mulai sekarang sampai jahanam sialan itu mati tidak ada Pamela Rachel Tanuseja lagi. Yang ada Lara Tan,” tekatku dalam hati sebelum menginjakkan kaki memasuki gedung mewah yang pintu utamanya diapit dua patung unicorn.

Dan sekarang aku sudah menembus barisan kawalan BL yang sudah tidak serapat tadi. Calon korbanku tidak mengenaliku lagi. Aku memang sudah banyak berubah. Tubuhku yang mirip buntelan lemak itu sudah menciut hingga separuhnya. Dendam sudah menggerus rasa laparku.

Aku pura-pura tersandung dan menumpahkan isi sloki ke pangkuan BL. Aku memang mengincar penisnya karena sebagai seorang playboy, penis terbakar rasanya pasti lebih menyakitkan daripada muka terbakar. Tangan kanan siap melemparkan geretan yang menyala, tapi… Astaga! Ternyata ada ayam di kolong meja yang sedang mengoral BJ dengan hotnya. Isi sloki mengguyur kepala ayam itu dengan sukses.

Aku tertegun. Berkali-kali aku berlatih membakar guling dan boneka, semuanya tak pernah gagal, tapi sekarang… Brengsek! Mengapa hal sebodoh ini bisa terjadi? Aku masih terdiam sementara ayam kuyup itu memaki-maki. Seorang pengawal dengan cekatan mencekal lenganku dan menggiringku menjauhi meja BL. Kulihat Pak Dibyo memelototiku. Celaka, malam ini penis buntek itu…

“Her, apa aku sudah menyuruhmu membawa dia pergi?”

Aku kembali digiring ke hadapan BL. Dengan menyipitkan matanya, BL men-scan diriku dari ujung rambut ke ujung kaki.

“Anak baru ya?”

“Ya.”

“Namamu?”

“Lara.”




“Kenapa kau nggak minta maaf?”

“Maaf, aku nggak sengaja. Akan kuganti minuman Tuan dengan yang baru.”


Semua jawabanku tak bernada ramah bahkan boleh dibilang ketus. Aku masih merasa kesal pada diriku sendiri dan pada situasi kacau ini sehingga tidak bisa menutupi kejengkelanku. Pak Dibyo mendadak muncul merunduk-runduk meminta maaf pada BL sambil kembali mencengkeram lenganku dengan kasar untuk memaksaku meminta maaf dengan lebih sopan.

“Aku sudah nggak mau minum lagi,” tukas BL usai aku meminta maaf lagi dengan nada terpaksa. “Kau di sini saja, gantikan dia.”

Kurang ajar! Dia pikir aku sama seperti ayam-ayam itu? Aku pura-pura tidak mendengar dan beranjak pergi, tapi Pak Dibyo dan seorang bodyguard memaksaku berlutut di hadapan BL. Semua ayam menyingkir sambil memelototiku.

“Tunggu apa lagi? Bukannya kau sudah biasa ngemut kont*l?” desak Pak Dibyo.



Aku merasa terhina. Ingin kubakar kont*l panjang di hadapanku, tapi geretan di tanganku sudah direbut Pak Dibyo. BL duduk bersandar dengan santai sementara kont*lnya yang sudah berdiri tegang menungguku dengan angkuh. Aku terkejut melihat kont*lnya lumayan besar dan panjang, soalnya tubuh BL sedang-sedang saja malah boleh dibilang kurus. Aku diam saja sambil memandang ke arah lain, tapi salah satu bodyguard memegangi kepalaku erat-erat sambil menuntun bibirku ke arah kont*l majikannya. Aku terus menutup mulutku meski Pak Dibyo menjambak rambutku yang dikuncir ekor kuda, menampar pipiku dan memukul punggung dan lenganku dengan keras.

“Terus! Hajar teruss! Lagi! Lagi!”

Bandi tampak gembira melihatku dihajar. Sampai-sampai ia juga ikut menjambaki dan memukuli kedua ayam yang sedang bergantian mengoralnya. BL sendiri tidak ikut memukulku. Dia hanya menontonku dengan penuh minat.

“Sudah, Dib. Kalau dia nggak mau nggak usah dipaksa,” tukas BL melihat babi mesum tua itu mencoba membuka mulutku dengan paksa. “Kan masih ada mulut lainnya.”

Hajaran Pak Dibyo membuat mataku sedikit berkunang-kunang sehingga reaksiku lamban saat melihat BL memakaikan kondom pada kont*lnya. Kondomnya aneh, berbintil-bintil kecil di sekujur batang sehingga mirip kaktus.

Mendadak BL menarikku bangun. Aku yang masih terhuyung, menjerit kaget saat BL mendorongku ke atas meja. Botol dan gelas minum di atas meja disapu BL hingga jatuh ke lantai, pecah berantakan. Tak sempat kubayangkan seperti apa wajah Pak Dibyo karena aku sudah panik memikirkan diriku sendiri. Aku tergeletak di atas meja dengan seragam berantakan. Rok mini hitamku tersingkap dan kancing-kancing blus putih lengan panjangku sebagian sudah terbuka. Tangan BL bekerja cepat sekali dan sekarang sudah mencengkeram ujung celana dalamku dan menariknya ke bawah. Gila! Dia ingin memperkosaku di depan umum!

“Jangaan! Aku nggak mau! Tolong! Toloong!” teriakku panik sambil meronta.

Tapi tidak ada yang mau atau berani menolongku. Aku mulai memaki, semua perbendaharaan kata kasarku meluncur keluar. Pak Dibyo membentak marah, tapi saat tangan gemuknya menyelonong ingin menampar pipiku, sebuah tangan kekar mencengkeram tangannya hingga kudengar babi tua itu merintih sakit. Rupanya pengawal BL tahu kalau bosnya tidak ingin bantuan dari orang lain lagi. Dia ingin membereskanku sendirian.

Kuayunkan kakiku kuat-kuat saat BL mengangkangkan kakiku lebar-lebar. Aku bertekat akan menendang kont*l yang berdiri itu dengan keras hingga memar. Kuayunkan jari-jariku yang berkuku tajam. Tapi BL yang tubuhnya tidak kekar itu ternyata sangat kuat. Dengan satu tangan dia menahan kedua pergelangan tanganku di atas kepalaku. Dan dengan pecahan botol, disobeknya celana dalamku.

“Tidak! Tidaaak! Tida…aaaargh! Aaaaah!”



Aku melolong kesakitan saat kont*l itu menembus paksa liang vaginaku yang masih perawan. Aku terus meronta, tapi hal itu malah membuat BL makin bernafsu. Sebelah tangannya meremasi payudaraku dan bibirnya melumat bibirku. Kugigit bibirnya keras-keras hingga berdarah. Tapi ia malah tertawa dan menggenjotku makin keras. Dirobeknya blus putih dan memelorotkan BHku. Dilumatnya payudaraku dengan lahap dan digigitnya pentilku dengan keras. Aku menggeleng-geleng, mencoba menghilangkan rasa sakit seraya berharap semua ini hanya mimpi buruk.

Namun sia-sia. Rasa sakit itu tak kunjung hilang, malah makin menjadi. Tubuhku berayun keras seiring genjotan BL yang makin cepat hingga bergeser ke ujung meja. Kepalaku sudah tergantung di tepi meja dan rambutku menyapu lantai. Teriakanku melemah dan pandanganku mengabur. Sempat kulihat wajah Pak Dibyo yang tampak gemas, dia pasti menyesal tidak mencicipi tubuhku lebih dulu. Aku juga melihat pandangan sirik para ayam yang tersingkir. Tatapan dingin para pengawal membuatku menggigil, kejadian ini pasti sudah sering mereka lihat. Yang paling ribut malah Bandi yang terus berteriak sambil menjambaki dan menampari kedua ayamnya.

Tiba-tiba BL berhenti, mencabut kont*lnya dan menyorongkannya ke wajahku. Aku berpaling karena tak ingin mengemut kont*lnya, tapi teriakan tertahan para penonton membuatku penasaran dan kembali menatap kont*l jahanam yang masih terbungkus kondom kaktus itu. Ada darahku di sana.

“Ternyata dia masih mens,” ucap Pak Dibyo gegetun.

Para ayam melenguh jijik. Bandi tertawa gembira, tapi BL malah mendengus sinis.

“Ajaib. Perawan kok bekerja di tempat seperti ini,” ujarnya mengejek.


“Pe..perawan? Dia masih perawan?” Pak Dibyo terbata dengan nada menyesal.

“Tadinya,” sahut BL sambil mengocok kont*lnya yang belum ejakulasi.

Aku sedang berusaha bangun saat BL menyemprotkan spermanya ke dadaku sehingga menyiprat ke leher dan wajahku. Semua orang menahan napas melihatku menampar dan meludahi wajah BL sebelum turun dari meja dengan tergesa sambil merapatkan blusku yang sobek. Seharusnya aku tidak melakukan hal yang membuatnya marah, tapi kepalaku sudah dikuasai kemarahan dan kebencian. Yang kupikirkan hanyalah pergi dari neraka ini sesegera mungkin. Tapi aku tidak bisa keluar dengan penampilan sekacau ini jadi aku menuju ruang ganti karyawan untuk berganti pakaian. Tak kupedulikan tatapan para tamu dan karyawan lain pada tubuhku yang setengah telanjang.

Tubuhku gemetar, tapi aku tidak menangis. Aku sudah siap dengan segala resiko dari rencana balas dendamku, tapi aku tidak pernah membayangkan akan menerima pelecehan dan penghinaan seperti tadi. Amarahku makin menggelegak dan ingin rasanya mencabik-cabik tubuh BL seperti ia mencabik celana dalamku.

Pintu terbuka dan Pak Dibyo masuk sebelum aku sempat berganti pakaian. Dia menatapku dengan pandangan aneh.

“Kau boleh pergi.”

“Jadi aku dipecat setelah diperkosa di depan umum?” balasku dengan suara bergetar menahan marah.

Babi tua itu seperti ingin mendekatiku, tapi tidak berani.

“Aku nggak tahu, kau ini beruntung atau sial. Bereskan bajumu. Kamu nggak mau membiarkan dia menunggumu lama-lama kan?”

“Dia? Dia siapa?”

“BL. Dia sudah membelimu. Lima juta.”

Astaga! Keperawanan dan harga diriku cuma dihargai lima juta? Aku ternganga sebelum menyemburkan amarahku

“Enak saja! Memangnya sejak kapan kau memilikiku? Dengar ya aku bukan ayam yang bisa diperjualbelikan!”

“Semua itu salahmu sendiri. Kalau kau nggak membohongiku…”

“Memangnya kau berani membelaku di depan bajingan sialan itu?”

Serentetan cacian yang kutujukan pada BL tak juga berhenti meski si angkuh muncul dari balik pintu dengan wajah dingin. Pak Dibyo langsung menyingkir keluar, meninggalkan kami berdua.

“Sepertinya kamu harus diajari sopan-santun,” tukas BL sambil mendekatiku dengan gaya mengancam. “Seumur hidupku belum pernah ada yang meludahiku apalagi di depan umum.”

“Seharusnya sudah sejak dulu kau diludahi!” tukasku marah sambil menghujamkan jepit rambut ke matanya.

Seperti tadi, tangan BL bergerak cepat. Dengan sekali gerakan dia sudah berhasil menepis tanganku hingga jepit rambut terjatuh. Gerakan selanjutnya adalah memitingku. Tapi aku tidak tinggal diam. Aku terus melawan. BRAK! Punggungku menghantam lemari loker setelah didorong dengan keras. Untung tidak ada pegangan loker atau kunci yang menancap di lubang kunci loker, kalau tidak punggungku pasti sudah bolong.

Aku terjepit sementara BL merobek blusku dan menurunkannya sehingga kedua lenganku tertahan oleh lengan panjang blusku sendiri. Aku nyaris tak bisa bernapas karena BL melumat bibirku dengan penuh nafsu. Lalau dia menyumbat mulutku dengan sesuatu yang kenyal dan berbau karet. Astaga! Rupanya kondom kaktus bekas tadi! Aku berusaha memuntahkan kondom bekas yang masih berlumur cairan vagina dan darahku itu tapi tak bisa.

BL mengangkat kaki kananku dan menghujamkan kont*lnya ke dalam mem*kku. Sekarang kont*lnya terbungkus kondom yang berornamen aneh. Ada cincin berbulu yang melingkar di tengah-tengah batangnya. Tangan satunya menarik pundakku turun sehingga hujaman kont*lnya terasa menumbuk mulut rahimku. Kedua alisku mengernyit menahan sakit.

“Hhhgh hhhgh hhhgh.”

Napas BL menderu di telingaku. Dia menjilati leherku dan membuat belasan cupang di sana, juga di dadaku. Kugertakkan gigiku untuk meredakan rasa perih dan linu di selangkanganku. Rasanya vaginaku berdarah lagi. Cincin berbulu di kondom itu membuat liang vaginaku terasa pedas dan perih. Tiba-tiba dia berhenti untuk melepas sumpal di mulutku. Dan hentakan pantatnya semakin keras.

“Minta maaf… Ayo, minta maaf…,” perintahnya setengah menggeram.

Aku mendelik dan meludahinya mukanya lagi. Bukannya marah, BL malah tertawa dan melepaskanku hingga aku jatuh berlutut di hadapannya. Lalu sebelum aku sadar, BL menjepit hidungku dengan jepit rambut hingga mulutku terbuka untuk menghirup oksigen. Dan hap! Kont*l panjang itu masuk menusuk tenggorokanku dengan telak. Entah kapan dia melepas kondom dari kont*lnya. Tanpa ampun dia memegangi kepalaku kuat-kuat dan terus menyodok kont*lnya dalam-dalam. Aku hampir tak bisa bernapas dan mencoba meronta, tapi tenagaku habis. Hek! Ujung kont*lnya melesak masuk ke ujung tenggorokanku dan CROT! CROT CROT! Aku tersedak cairan gurih kental, tapi BL tak juga melepaskan kepalaku.

Baru dua menit kemudian dia mencabut kont*lnya dan melepaskan jepit rambut dari batang hidungku. Dia tampak puas melihatku ambruk tak berdaya di lantai dengan mulut berlumuran spermanya. Dijambaknya rambutku yang sudah awut-awutan dan bertanya lagi,

“Kalau kau minta maaf, hukumanmu akan kuperingan.”

“Go to hell,” bisikku geram sambil berusaha meludahinya lagi.

BL menggeleng-geleng dan mendorong kepalaku menjauh.

“Kayaknya aku harus mengajarimu dengan lebih keras lagi. Aheng!”

Pintu terbuka dan seorang bodyguard bertubuh paling besar masuk. Wajahnya yang dipenuhi bopeng bekas cacar tampak kekanak-kanakan dan tak kalah tololnya dari Bandi. Aku menjerit kaget saat Aheng mengangkat tubuhku yang setengah telanjang dan memanggulnya di pundak seperti aku ini sekarung beras saja.

“Turunkan aku! Lepaskan aku! Bajingan!” seruku sambil menendang-nendang punggung Aheng dan memukuli perutnya.

Namun Aheng bergeming dan tetap berjalan santai sampai keluar Sanctuary. Astaga! Aku pasti menjadi tontonan banyak orang. Aduh, apa yang akan dilakukan BL padaku? Menggilirku bersama para bodyguard-nya di halaman parkir?

“Aaah! Jangan! Tolong! Jangan tinggalkan aku di sini!”

Aku berteriak ketakutan saat Aheng menjatuhkan tubuhku ke dalam bagasi mobil dan menutupnya. Aku takut pada kegelapan total. Membuatku tak bisa membedakan apakah mataku sudah terbuka atau masih tertutup. Tapi mereka tak peduli pada teriakan dan gedoranku. Tubuhku terguncang-guncang saat mobil melaju kencang.

Rasanya berjam-jam aku terkocok dalam kegelapan dan kepengapan sebelum mobil berhenti dan pintu bagasi terbuka. Aku masih sibuk mengerjap-ngerjapkan mataku yang berusaha beradaptasi pada sinar lampu benderang sembari menyedot oksigen bebas sebanyak mungkin saat tubuhku ditarik keluar dari bagasi. Aheng kembali memanggulku di pundaknya. Aku tidak tahu hendak dibawa ke mana karena pandanganku terbatas hanya pada sepatu hitam Aheng yang mengkilat. Aku merasa mual setelah menerima hajaran Pak Dibyo, terbentur pintu loker dan terayun-ayun begini. Tapi makian tak berhenti kulontarkan.

Aku baru diam setelah Aheng menurunkanku di sebuah ruangan yang ternyata kamar mandi. Kamar mandi yang tidak terlalu luas, tapi bersih.

“Eh! Kau mau apa?!” jeritku kaget saat Aheng merobek sisa pakaianku begitu saja seperti mengupas pisang sehingga aku bugil total.

Bukannya menjawab, gorila berwajah bopeng ini malah membopongku dan menceburkanku ke dalam bathtub yang berisi air mandi hangat.

“Bos bilang kau harus mandi.”

Aku tertegun melihatnya pergi meninggalkanku sendirian tanpa memanfaatkan kesempatan untuk mencolek tubuhku. Mungkin dia tidak berani atau aku bukan tipe gadis yang disukainya. Oh my God! Kenapa aku gila begini? Sudah bagus telapak tangannya yang segede piring itu tidak meremas payudaraku sampai penyok kok aku malah merasa terhina. Ya sudah. Sekarang mandi saja. Toh tidak ada ruginya. Lagipula aku memang ingin sekali membersihkan diriku dari sisa-sisa air liur, keringat dan air mani BL juga darahku sendiri. Tulang selangkanganku sedikit linu dan mem*kku memar.

Anehnya aku tidak juga menangis meski merasa terguncang. Tak pernah terbayangkan oleku kalau keperawananku hilang dengan cara tragis seperti itu. Seharusnya aku membunuhnya, tapi dia malah memperkosaku. Sampai dua kali lagi. Aku benci setengah mati padanya juga pada kebodohanku.

Saat aku sedang mengeringkan tubuh, pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka dan orang yang paling kubenci sedunia masuk. BL hanya mengenakan kimono. Darahku kembali mendidih melihat senyum mengejek di wajahnya.





“Bajingan! *******!” makiku sambil menimpukinya dengan semua barang disekelilingku. Dari botol sampo, sabun mandi sampai lilin aromaterapi.

Seperti tadi BL hanya tertawa sambil menepis barang-barang itu dengan santai. Dia terus maju sambil membuka kimono, memperlihatkan tubuh telanjangnya yang kurus liat sementara aku mulai panik karena kehabisan amunisi. Aku terpojok sambil memegangi sikat toilet dengan posisi mengancam.

“Kau mau apa? Menyikatku sampai bersih?” ejeknya.

Aku hanya bisa gelagapan saat dia menyemprotkan air panas dari gagang shower ke mukaku. Sialan! Aku salah pilih senjata! Dengan mudah dia melumpuhkanku. Aku setengah terjerembab di lantai, terpeleset oleh air sabun, tapi dia malah menindihku dari belakang.

“F*cking shit! Lepaskan aku!” seruku sambil meronta dan berusaha mencakar wajahnya.

“Yeah. Let’s f*cking,” sahutnya sambil memiting kedua tanganku di punggungku dan menggencet kepalaku ke lantai.

Lalu BL meregangkan kakiku dan menunggingkan pantatku. Kulihat dia merogoh sesuatu dari saku kimononya. Kondom lagi, kali ini bentuknya beruas-ruas pendek. Aku berusaha melepaskan diri saat dia memasangkan kondom pada kont*lnya, tapi lagi-lagi aku tak mampu melawannya. Genggaman tangannya sangat kuat.

“Aaaaargh! Auch! Pelan-pelan! Sakit! Aaaaooh!” lolongku kesakitan saat kont*lnya menembus mem*kku dengan sekali sodokan mantap.

Tapi BL mana mau mendengar jeritanku. Semakin aku menjerit, semakin bernafsu dia. Pipiku sampai sakit tergesek ubin kamar mandi yang dingin. Dengkulku juga. Tapi yang paling sakit liang vaginaku. Rasanya seperti diparut dari dalam. Aku curiga desain kondomnya yang aneh-aneh itu memang dibuat untuk menyiksa mem*k. Apa mem*kku akan berdarah lagi?

“Take that, bitch!” seru BL tiap kali menyodok dalam-dalam.

Mendadak ia mencabut kont*lnya dan …

“Aaaough! Aaaah! Jangan! Stop! Jangan di situ! Aaaaaah!”



Aku mengejang dan lolonganku makin menjadi saat kont*l beruas itu memaksa masuk lubang anusku. Aku meronta sekuat tenagaku, tapi tak bisa juga melepaskan diri meski BL melepas pitingannya. Tangannya mencengkeram pantatku kuat-kuat bahkan jari-jarinya meregangkan lubang anusku.

“Hhhgh… lubangmu sempit sekali. Enak,” desah BL penuh nikmat.

Aku tak mampu memaki lagi. Yang keluar dari mulutku hanyalah teriakan kesakitan. Air mataku sampai menetes membasahi ubin dan gigiku gemeletuk menahan sakit. Gila! Rasanya anusku robek. Perih sekali. Lebih perih daripada saat mem*kku dijebol pertama kalinya.

Kedua tanganku mencoba meraih barang apa saja untuk dikeprukkan ke kepala pemerkosaku, tapi BL malah mendekapku erat dari belakang sambil meremas kedua payudaraku. Kurasakan tubuhnya menggeletar dan dia menggeram panjang. Akhirnya dia orgasme juga.




Dia tetap menindih tubuhku sambil mengatur napasnya sementara aku merintih kesakitan. Dicabutnya kont*lnya dan dituangnya isi kondomnya ke kepalaku.

“Sudah lama aku nggak puas begini. Mandi lagi yang bersih ya,” ujarnya sambil menepuk pantatku yang pasti memerah.

“Kampret. Dasar binatang,” desisku.

Seketika BL membalikkan tubuhku dan menatap mataku dalam-dalam.

“Kau sama sekali nggak takut padaku?”

Kuludahi wajahnya lagi, tapi kali ini dia tidak tertawa.

“You’re one of a kind. I’m glad I bought you,” ujarnya usai mencuci wajahnya.

“Brengsek! Kau pikir dengan duit lima juta kau bisa memilikiku begitu saja?”

BL nyengir sambil mencubit pipiku.

“Dibyo menjualmu terlalu murah, tapi aku malah untung. Kau nggak cantik, tapi servismu luar biasa. Besok kita main lagi. OK?”

Lalu dia meninggalkanku terkapar di lantai kamar mandi. Sekujur tubuhku memar dan sakitnya jangan ditanya lagi. Dengan susah payah aku bangun dan merangkak setengah mengesot sebelum bisa mencemplungkan diri kembali ke dalam bathtub

Aku tak pernah membayangkan akan menjadi budak seks orang yang ingin kubunuh. Sudah seminggu lebih aku disekap dalam sebuah kamar tanpa diberi pakaian layak. Pakaianku sehari-hari hanyalah kaus singlet berukuran besar yang bila kupakai mirip daster. Tanpa BH dan tanpa celana dalam.

Kamarku cukup luas. Isinya sebuah ranjang besar dan sebuah lemari dua pintu yang hanya berisi kaus singlet, kimono mini, selimut, seprai, handuk mandi dan tampon. Aku belum pernah mens sejak berada di sini, tapi tak terbayangkan olehku bagaimana rasanya memakai tampon apalagi tanpa celana dalam.

Ada pintu kecil yang menghubungkan kamar tidur dengan kamar mandi di sebelahnya. Kamar mandi itu adalah tempat BL memerkosaku saat aku tiba di tempat ini. Aku sendiri tidak tahu pasti apakah tempat ini adalah bagian dari rumahnya atau apartemen karena tak ada jendela dalam kamarku. Hanya ada ventilasi kecil dalam kamar mandi dan letaknya di dinding atas, dekat langit-langit.







Aku seperti binatang piaraan, diberi makan dan minum secara teratur dalam porsi cukup (biasanya Aheng yang mengantar ransum makanku) agar bisa melayani nafsu seks BL yang overdosis. Tiap hari dia mengunjungiku kapan saja dia mau. Kadang sekali, kadang bisa sampai tiga kali. Kadang di kamar mandi saat aku mandi pagi, kadang tengah malam saat dia pulang dalam keadaan mabuk dan kadang pagi-pagi buta di saat aku belum benar-benar sadar seperti yang terjadi sekarang.

Aku terbangun karena mendadak ada yang menekan dan menerobos mem*kku dengan paksa. Aku berteriak kaget tapi teriakanku tertahan karena dia memagut bibirku dengan lapar. Ditindih dan dipeluknya tubuhku dengan erat hingga aku tak bisa bernapas lega.




“Hek… hek… hek…”

Hanya desah tertahan yang keluar dari mulutku seiring genjotannya yang makin cepat. Aku menggeliat mencoba melepaskan diri. Kedua tanganku mendorong tubuhnya menjauh, mencakar wajahnya, tapi kukuku sudah dipotong rapi entah kapan – mungkin saat aku tertidur. Kujambak rambutnya, kutonjok wajahnya, tapi dia bergeming dan malah menggerayangi serta meremas tubuhku yang telanjang dengan gemas sembari menjilati wajah dan menggigiti daun telingaku.

Duk! Duk! Saking serunya menggenjot, tubuhku bergeser sampai-sampai kepalaku menumbuk headboard ranjang, tapi dia tak menghentikan genjotannya. Percuma aku meneriakkan kata ‘Stop! Sudah! Aduh!” karena hal itu akan membuatnya makin bernafsu menggeluti tubuhku. Jadi terpaksa aku menelengkan kepalaku hingga leherku sakit.

Selangkanganku perih karena aku tidak pernah menerima rangsangan yang membuat cairan vaginaku keluar. Dia juga tak pernah melumasi kondomnya. Aku belum pernah merasakan nikmatnya orgasme. Yang kurasakan hanyalah sakit yang makin membuat dendamku membara sekaligus membuatku frustasi. Bagaimana caranya aku bisa membunuh jahanam ini?

Aku sudah pernah menyerangnya dengan garpu, mencoba mengepruk kepalanya dengan gelas melamin dan menusuk penisnya dengan tusuk gigi, tapi semuanya gagal. Reaksinya yang cekatan membuat berbagai seranganku tumpul dan berbalik menjadi senjata makan tuan. Dia membalas semua seranganku dengan menyetubuhiku dengan paksa. Bila aku meludahinya, dia membalasnya dengan menyemburkan air maninya ke wajahku. Tapi tak sekalipun dia memukul atau menamparku. Dia hanya suka memiting, menggencet atau menjambak rambutku, itu pun dilakukannya dengan setengah tenaganya. Dia senang mempermainkanku. Bila aku marah dan berontak, nafsu seksnya akan berlipat ganda.

Yang paling kubenci adalah kondom yang dipakainya. Ada yang bersungut, ada yang berbentuk ulir dan ada yang bervibrasi sehingga membuatku terlonjak-lonjak liar sambil meringis menahan geli tiap kali ujung kont*lnya yang bergetar kuat menekan mulut rahimku. Yang sekarang dipakainya berbentuk mirip jamur, ujungnya membulat besar seperti hidung palsu badut yang merah sehingga membuat liang vaginaku mengembang. Tapi saat dia menarik kont*lnya, daging liang vaginaku seperti ikut tertarik keluar. Sakit sekali. Untuk mengurangi rasa sakit tanganku mencengkeram seprai hingga robek. Lalu aku mencari-cari benda lain untuk kucengkeram. Yang kudapat lengan dan punggungnya.

“Hhhg! Ssshh! Hhhgh!”

BL mengerang dan mendesis saat kukuku yang pendek menembus kulit lengan dan punggungnya. Aku keliru. Perbuatanku memicu nafsunya makin menggila. Digenjotnya kont*lnya lebih kuat dengan kecepatan penuh. Mem*kku seperti ingin sobek rasanya.

“Aaargh! Aaaaah! Sakit! Sudah! Sudah!” teriakku sambil memukuli badannya.

BL berhenti dan mencabut kont*lnya di saat aku tak tahan lagi dengan siksaannya, tapi dia melakukan hal itu hanya untuk merubah posisi dari missionary position ke deep penetration. Kedua kakiku disampirkan ke pundaknya sementara kon*lnya bersiap menyodok anusku. Agak susah menembus anusku karena ujung kepala jamur itu terlalu besar. Di samping itu aku terus meronta dengan panik dan menendang-nendang.




Ajaib. Kali ini perlawananku berhasil. Dia terpelanting jatuh ke lantai, tak sadarkan diri. Rupanya tendanganku mengenai mukanya dengan telak. Aku buru-buru menymbat mulutnya dan mengikatnya pada kaki ranjang dengan robekan kaus singletku. Ironis karena dia yang merobek kaus singlet itu. Kemudian aku memakai kaus dan celana pendeknya yang agak kebesaran.

Kubuka pintu kamar dengan pelan. Di luar gelap, tapi bunyi dengkuran keras nyaris membuatku memiawik kaget. Aku menutup mulutku saat menyadari ada kursi di samping pintuku. Di sana duduk Aheng. Kepalanya terdongak, mulut lebarnya ternganga dan kakinya menyelonjor.

Sejenak aku terdiam, mencoba berpikir dengan jantung berdebar keras dan kepala berdenyut kencang. Aku tidak tahu tempat seperti apa ini dan di mana letaknya. Aku tidak punya uang dan tak tahu harus ke mana. Ke tempat kosku dulu? Atau kembali ke Sanctuary? Bayangan wajah babi tua mesum itu membuatku ingin muntah. Berarti aku terpaksa meminta bantuan keluarga besarku yang pengecut itu.

Setelah memantapkan diri aku menyelinap keluar dan berjalan berjingkat-jingkat. Baru lima langkah, aku baru sadar kalau aku belum menuntaskan misiku. Aku belum membunuh BL. Di saat aku ragu, terdengar bunyi gaduh dari dalam kamar disusul teriakan BL. Celaka, BL sudah sadarkan diri!

Aku langsung berlari mencari-cari jalan keluar dalam kegelapan. Ada begitu banyak pintu, aku membuka salah satu di antaranya dan segera menguncinya. Dari luar terdengar langkah-langkah kaki. Mereka mengejarku! Aku harus lari ke mana?

Mendadak aku merinding. Ada yang bernapas di belakangku. Dengusan napasnya yang dingin berhembus ke kudukku, menembus rambutku yang tergerai. Tubuhku gemetar. Astaga, apa ada setan di sini?

“Apa kau setan?”

Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, tapi malah aku yang ditanya. Nada suaranya kekanak-kanakan, penuh rasa ingin tahu. Aku menoleh perlahan dan rasanya jantungku berhenti berdetak. Persis di hadapanku berdiri Bandi. Cengiran lebar mendominasi wajahnya.

“Mukamu pucat, tapi kau bukan setan,” ujarnya sambil tertawa mengikik.

Tawanya yang tak wajar membuatku takut. Aku beringsut mundur, tapi punggungku membentur pintu.

“Tadi aku mimpi apa ya sampai didatangi tamu penting sepagi ini. Apa BL lupa kalau hari ini bukan hari ulang-tahunku? Kau tahu, selama ini dia pelit sekali. Dia nggak pernah mau meminjamkan mainannya padaku apalagi memberikannya dengan gratis. Padahal aku mau berbagi dengannya, tapi dia selalu bilang aku ini perusak. Apa kau pernah melihat museum Lego-nya? Dia mengoleksi mainan Lego dari umur empat tahun. Semuanya masih dibungkus rapi, seperti toko saja. Bodoh sekali dia. Ngapain mainan cuma dipandangi saja. Nggak seru kan? Eh, kenapa kau diam saja?”

Aku diam karena tidak tahu harus menyahut apa dan memilih berpikir bagaimana cara meloloskan diri dari si klemer psycho ini. Bandi mulai membelai rambut dan wajahku. Belaiannya halus, seakan aku ini porselen yang mudah pecah. Begitu beda dengan sentuhan BL yang seakan ingin meremukkan tubuhku. Tapi sentuhan Bandi membuatku merinding dan menggigil.

“Mungkin dia sudah bosan padamu. Aku sih nggak keberatan dikasih barang bekas. Toh kau masih lumayan bagus.”

“Maaf, sudah mengganggu tidurmu. Tadi aku salah masuk kamar,” ujarku sesopan mungkin sambil membuka pintu.

“Nggak. Kau nggak salah kok,” bantah Bandi sambil menggenggam tanganku dengan mesra.

Aku mencoba menarik tanganku, tapi tak bisa. Dia malah merangkul sambil mengelus-elus punggungku.

“Aku memang sedang butuh orang baru karena dia payah sekali,” keluhnya sambil melambaikan tangannya dengan santai.

Aku melirik ke arah tangannya melambai. Aku terkesiap. Dalam keremangan aku bisa melihat seorang gadis yang kedua tangan dan kakinya terikat pada keempat ujung ranjang. Tubuhnya yang telanjang penuh bercak mengkilat. Dari selangkangannya mencuat dua dildo. Satu dari lubang vagina dan yang satunya dari lubang anus. Kedua dildo itu masih menyala hingga mengeluarkan suara mendesum. Sedangkan gadis malang itu sepertinya tak sadarkan diri atau jangan-jangan sudah mati.

“BL pasti sudah mencariku,” ujarku gemetar.

Aku mulai berpikir untuk berteriak minta tolong, tapi aku takut Bandi mendadak berbuat nekat. Bandi tertawa.

“Dia bisa mencari mainan baru. Orang macam dia bisa pesan apa saja lewat telepon. Dia bisa pesan lima cewek yang lebih cantik darimu dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Jadi kau nggak usah mikirin dia lagi. Sekarang kau milikku.”

“Tapi aku harus kemba…”

Kata-kataku terhenti karena Bandi tiba-tiba mencekikku. Mataku terbelalak dan aku meronta sekuat tenaga. Kutendang selangkangannya, tapi dia berkelit. Kucakar wajahnya, tapi dia mengelak. Dia terus menatapku sambil tersenyum manis dan sedetik sebelum aku tak sadarkan diri, dia mencium bibirku dengan lembut.

Aku tak tahu berapa lama aku pingsan. Tapi begitu sadar, mimpi buruk sudah menyongsongku. Aku berada dalam ruangan aneh, bukan kamar Bandi. Ruangan ini lebih mirip laboratorium daripada kamar tidur. Ada banyak rak berisi benda-benda aneh. Aku berusaha bangun, tapi tak bisa. Tubuhku terikat pada ranjang. Kedua tanganku terikat jadi satu di atas kepalaku sedang kakiku terikat pada alat aneh. Aku tahu, ranjang ini adalah ranjang khusus untuk melahirkan di mana ada alat untuk menyangga betis pasien di ujung kiri-kanan ranjang bagian kaki. Secara otomatis selangkanganku terbuka dan ya aku kembali telanjang bulat.






Aku berteriak minta tolong, tapi lidahku terganjal dan mulutku tersumbat. Bukan kain, bukan kondom atau plakban. Kurasakan dengan lidah, sepertinya mirip bola golf, tapi berlubang-lubang sehingga udara bisa keluar-masuk dengan leluasa.

“Ah, akhirnya sadar juga,” sapa Bandi dengan ramah.

Tangannya membelai wajahku dengan lembut lalu turun ke payudaraku, perutku yang rata dan terakhir selangkanganku. Tubuhku tersentak-sentak, tiap kali dia menyentuh benjolan kecil di dekat lubang kencingku.

“Enak kan? Buktinya kau makin basah,” bisiknya sambil terus membuat lingkaran-lingkaran kecil di sana.

Aku belum pernah bermasturbasi jadi tidak tahu kalau klitorisku bisa dirangsang seperti ini. Lenguhan kenikmatan mulai keluar dari mulutku yang tersumbat. Vaginaku mulai terasa basah. Tanpa sadar aku memejamkan mataku untuk menikmati rangsangan ini. Rasanya aku sedang terbang ke langit ketujuh.

“Mmmh! Mmmph!”

Aku membuka mata dan berteriak kaget saat kurasakan benda keras dan dingin memaksa masuk mem*kku yang basah. Bandi tersenyum ramah dan mengeluarkan alat itu dari mem*kku dan menunjukkannya. Mirip gunting, tapi melengkung dan bercorong.

“Kau belum pernah melihat alat ini?”

Aku menggeleng ketakutan. Sepertinya alat itu mengerikan.

“Kalau begitu kau pasti belum pernah pap smear. Alat ini untuk membantu dokter membuka liang vagina sehingga bisa mengambil cairan dengan gampang.”

Aku makin ciut melihatnya memeragakan gunting aneh itu hingga membuka lebar. Astaga! Apa yang akan dilakukannya pada vaginaku? Aku berontak, mencoba beringsut saat Bandi kembali mencokokkan alat mengerikan itu ke lubang mem*kku.

“Mmmh! Mmmph! Mmmmmhhh!”



Aku berteriak sejadi-jadinya saat alat itu menyodok masuk hingga ke ujung dan membenggangkan lubang vaginaku lebar-lebar. Sakit dan linu sekali. Bandi menyeringai dan memasukkan empat jarinya sekaligus untuk mengobok-ngobok vaginaku hingga basah kuyup.

“Sepertinya deodoran ini muat kalau dimasukkan ke dalam situ.”

Aku menggeleng dan berteriak-teriak. Tapi percuma. Daguku malah berlumuran liurku sendiri yang mengalir keluar lewat lubang sumbatanku. Dan Bandi seperti anak kecil yang kegirangan menemukan mainan baru. Setelah puas dengan memasukkan dan mengeluarkan deodoran, dia beralih pada barang-barang yang lebih besar. Botol minyak angin, thermometer digital lalu berganti botol aftershave dan yang terakhir senter yang berisi dua batere AA.

Separuh batang senter plastik hijau masih menancap di vaginaku saat dia mengeluarkan speculum lain. Rasanya aku ingin mati saja daripada anusku ikut dibenggangkan. Sekujur tubuhku bermandikan keringat dingin. Benar-benar mengerikan. Aku tahu aku sudah berjumpa dengan setan yang sesungguhnya.

BRAK! Mendadak pintu ruangan terbuka dan Aheng menerobos masuk ke dalam. Belum pernah aku merasa begitu gembira melihat Aheng. Apalagi gorila itu langsung melucuti benda-benda penyiksa yang tertancap di tubuhku.

“Eh, kau mau apa? Siapa yang mengijinkanmu mask kemari?” sembur Bandi murka sambil menyerang Aheng.

Dengan sekali tepak, Bandi tersungkur di lantai. Diambilnya pisau dan dihunjamkannya ke punggung Aheng.

“Awas!”

Aku ingin berteriak memperingatkan Aheng, tapi mulutku tersumbat.

“Bandi!!”

Bandi langsung mematung mendengar bentakan BL. Aku juga. Sedangkan Aheng terus berkutat membuka ikatan tanganku.

“Apa-apaan kau ini. Kau kan tahu kalau dia milikku!” sergah BL.

“Aku tidak pernah mengundangnya kemari. Dia sendiri yang datang,” bantah Bandi. “Lagipula kau juga sudah bosan dengannya.”

“Apa aku pernah merebut ayammu yang kabur ke tempatku?”

Kedua saudara itu bertengkar memperebutkanku. Tidak sampai baku hantam, tapi ribut sekali. Namun aku sama sekali tidak bangga diperebutkan dua orang sakit jiwa. Adu mulut akhirnya selesai dan dimenangkan BL. Bandi tampak kesal, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Aku memalingkan wajah dengan jijik saat melihatnya menjilati speculum yang berlumuran cairan vaginaku dengan haus.

Saking lemasnya aku tak bisa berjalan sehingga Aheng harus membopongku. Sedangkan BL berjalan di depan kami. Tiba-tiba aku menangis. Awalnya terisak lalu tersedu. Ini tangisku yang pertama sejak tiba di Sanctuary hingga sekarang. Kejadian horor tadi membuatku begitu terpukul. Aku mulai menyesali kenekatanku membalas dendam yang membuat hidupku hancur berantakan. Kata seandainya terus terulang di kepalaku, tapi percuma, aku tidak bisa memutar balik waktu dan merubah keadaan.

Aheng menurunkanku di ranjang, tapi aku terus memeluk lehernya erat-erat. Bagiku dia adalah pahlawanku. Kalau tidak ada dia, mungkin anusku sudah sobek dan aku mati kehabisan darah. Bodohnya aku, berusaha menutupi kenyataan kalau BL-lah yang berjasa menyelamatkan nyawaku. Kalau tidak disuruh BL, mana mau Aheng bertindak. Tapi aku tak sudi berterimakasih pada BL. Gara-gara dia, aku jadi sial begini.

Aheng dengan perlahan namun pasti melepaskan pelukanku dan menyelimutiku. Setelahnya dia pergi meninggalkanku berdua dengan majikannya. BL langsung menyingkap selimut dan kembali menindihku. Dia memakai kondom kepala jamur baru. Rupanya dia belum puas menggagahiku dengan kondom itu. Kali ini aku tak memberikan perlawanan apa-apa. Aku masih terlalu sibuk sesenggukan, tapi aku terkesiap saat BL meraba mem*kku.



“Becek banget. Jadi kau terangsang juga rupanya.”




Hatiku terluka mendengar hinaannya. Tapi makian tak mampu kuteriakkan lagi karena mulutku malah meneriakkan lenguhan penuh nikmat saat kepala jamur menggesek liang vaginaku yang basah. Belum pernah aku merasa senikmat ini digauli BL. Aku tetap pasrah saat BL mengangkat kedua kakiku dan menyampirkannya pada pundaknya. Untung saja dia tidak jadi menyodomiku. Hentakan demi hentakan membuat tubuhku menggeletar. Ditambah lagi remasan pada pantatku dan lumatan pada payudaraku.



Desahan dan lenguhan kami saling bersahut. BL menekan pantatnya kuat-kuat dan pada saat yang sama aku merasa melayang. Jauh lebih tinggi dari saat Bandi mengelusku tadi. Oh no! Ingatan pada Bandi membuat gairahku yang memuncak terjun bebas, tapi genjotan BL membuatku menggelinjang dan sesuatu seakan ingin membobol keluar dari dalam diriku.

“Ooooh! Ooooh! Oooaaah! Aaaah! Aaaaaaaaah!”

Aku berteriak panjang sambil terus menggelinjang sampai-sampai tidak menyadari BL melepaskanku. Aku baru tersadar setelah tersedak spermanya yang dipompakan ke dalam mulutku. Aku terkulai lemas tak berdaya sementara dia terus mengocok kont*lnya yang sepertinya tak henti-henti memuncratkan cairan.

Aneh, mengapa kami berdua begitu terangsang setelah campur tangan Bandi tadi? Bagaimana bisa aku mengalami orgasme setelah nyaris mati konyol? Apa aku juga mulai ketularan sakit jiwa?

BL berpakaian sambil memandangiku dengan dingin.

“Kau milikku,” begitu yang dikatakannya sebelum keluar dari kamar.

Meski papaku buaya darat paten alias kucing garong tulen, sejak kecil dia mencekokiku dengan segala aturan dan norma kesusilaan. Aku selalu dijaga dengan ketat dan dilarang bergaul dengan sembarang laki-laki. Bahkan aku tidak boleh pacaran sebelum umur dua puluh. Dan ternyata hingga sekarang aku malah belum pernah punya pacar. Mungkin karena dulu tubuhku yang mirip karung beras dan wajahku yang biasa-biasa saja maka tidak ada yang tertarik padaku.

Memang ironis bila mengingat bagaimana papa mengkhotbahiku agar menjaga keperawanan baik-baik selama aku bersekolah dan kuliah di Ohio. Papa adalah lelaki yang brengsek, tapi dia papa yang baik. Dia tak ingin putri satu-satunya akan bernasib sama dengan gadis-gadis yang sudah diperdayanya. Aku tak tahu apa karma itu benar-benar ada. Yang jelas aku penasaran, apa yang dipikirkan papa bila dia dapat melihat kondisiku kini.

Nasibku lebih parah dari ayam-ayam yang biasa dilahap papa. Gadis-gadis yang pernah dicicipi papa tak pernah merasakan penyiksaan yang aku alami karena sadomasokis bukanlah aliran seks yang dianut papaku. Mereka lebih beruntung karena menerima bayaran yang tidak sedikit bahkan kalau Papa sedang murah hati, bonus berupa anting atau gelang berlian bisa didapat. Sedangkan aku, sudah tubuhku babak belur, uang sepeser pun tak punya. Pakaian yang menempel di tubuhku saja hanya singlet kedodoran. Ditambah lagi aku seperti tidak punya tujuan hidup dan masa depan lagi.

Rencana balas dendamku terancam gagal total. Niatku untuk menyudahi nyawa BL mulai tergerus oleh hasrat seksku yang sedang tumbuh. Aku begitu terbuai dengan orgasme pertamaku sehingga yang ada dalam pikiranku hanyalah bagaimana bisa menikmatinya lagi dan lagi dan lagi. Aku bahkan sudah tak ingin melarikan diri lagi. Trauma yang seharusnya singgah setelah disiksa Bandi pun tidak kurasakan.

Sialnya, BL malah tak kunjung mengunjungiku. Sudah hampir dua minggu aku tidak melihat batang hidungnya yang mencuat angkuh itu. Aku tahu, konglomerat sekaliber dia memiliki jadwal superpadat. Semasa masih hidup, dalam seminggu papaku hanya berada di rumah dua-tiga hari saja. Makanya aku heran melihat BL sempat meluangkan waktu untuk menyiksaku. Kurasa orang sakit jiwa itu sedang sibuk mencaplok perusahaan milik orang lain atau menyiksa mangsa baru. Lalu bagaimana dengan nasibku?

“Ngh…. Ooooh…. Aaaaah…”



Aku mengerang seiring gelinjang tubuhku lalu terkulai lemas dengan kaki mengkangkang lebar. Tubuhku bermandi keringat, selangkanganku basah kuyup dan dadaku naik-turun. Kupejamkan mata sembari mengatur napasku yang memburu.

Bila sebelumnya aku menghabiskan waktu dengan melamun atau tidur-tiduran, kini kegiatan utamaku adalah bermasturbasi. Di ranjang maupun di kamar mandi. Dalam posisi berbaring, duduk hingga menungging. Tiap kali usai orgasme, aku merasa lega dan lelah sekaligus mengantuk. Aku pun tertidur pulas. Tapi begitu bangun, hal pertama yang kurasakan adalah ingin menikmati orgasme. Akibatnya klitorisku merah membengkak karena terus digosok. Perutku sampai kram dan kakiku pegal-pegal karena terus-terusan mengejang.

“Hmm? Ada apa sih?” gumamku kesal.

Guncangan keras di pundak, membangunkanku. Aku menggeliat sembari membuka mata dengan enggan. Ada seseorang berdiri di samping ranjang, berujar datar.

“Bangun dulu, Non. Sudah waktunya makan siang.”

Aku menggeleng. Tiba-tiba aku tersadar. Itu bukan suara Mbok Ti, pembantu yang biasa membangunkanku. Suara Mbok Ti medok, tidak serak begini. Tunggu dulu, aku kan sudah tidak punya rumah lagi. Aku kan tinggal di kamar kos sempit. Tapi itu juga bukan suara Gina, teman sekamarku. Suara Gina mendesah manja, tidak serak menggeram begini. Ini suara laki-laki. Badannya saja besar. Ya ampun, itu kan Aheng. Kok tumben-tumbennya dia membangunkanku?

“Jangan ganggu aku. Aku masih ngantuk,” ujarku serak sambil memunggunginya.

“Sekarang sudah jam sembilan. Non harus sarapan. Lagipula seprainya harus diganti,” balasnya sambil menepuk punggungku.

Eh, kulit telapak tangannya yang kasar kok terasa? Apa punggungku telanjang? Aku menjerit kaget setelah menyadari tubuhku tidak ditutupi selembar benang pun. Aku lupa kalau tadi aku melepas seragamku dulu sebelum bermasturbasi. Aku ingin merangsang diriku sendiri semaksimal mungkin tanpa diganggu sehelai kaus singlet.

“Pergi! Pergi kau! Jangan sentuh aku!” usirku panik sambil menarik selimut untuk menutupi tubuhku, tapi Aheng malah membuang selimutku dan mencengkeram lenganku.

Aku yang ketakutan langsung berontak. Kupukuli dan kutendangi gorila bermuka bopeng itu. Namun dengan sekali sentak, Aheng menyeretku turun dari ranjang. Astaga! Apa dia lebih suka main di lantai? Aku langsung ciut membayangkan sakitnya ditindih dan digenjot orang sebesar Aheng. Ukuran kont*l BL yg kurus saja sebesar itu apalagi gorila ini? Belum lagi kalau dia main kasar.

Di luar dugaanku, Aheng melepaskanku dan menyibukkan diri melepas seprai. Ngapain sih, kayak pembantu saja. Ya ampun! Aku ternganga melihat bercak merah besar di tengah seprai putih. Seperti bendera Jepang saja. Aku menunduk dan melihat di lantai juga ada tetesan darah. Sumbernya dari selangkanganku! Aku mens!!

Aku langsung kabur terbirit-birit ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sialan! Aku lupa mengambil tampon dari lemari! Aduh, bagaimana ini? Mendadak pintu kamar mandi terbuka dan Aheng masuk menyodorkan sekotak tampon padaku. Aku hanya bisa duduk terlongong di atas kloset melihatnya mengeluyur keluar begitu saja.

Aku lebih melongo lagi setelah melihat ukuran tampon di tanganku. Tamponnya besar sekali, seukuran kont*l BL! Akhirnya aku memutuskan untuk tetap duduk di tempat daripada memerkosa diriku sendiri dengan tampon yang mungkin khusus untuk para ibu yang sudah melahirkan lebih dari lima kali. Lagipula aku belum pernah memakai tampon karena dilarang keras oleh papa. Papa tidak mau aku diperawani oleh tampon. Dan sepertinya cara memakainya tidak mudah. Jadi aku duduk sambil memandangi darah menetes deras ke lubang kloset.

Setengah jam berlalu, pantatku sudah mati rasa dan perutku bernyanyi sumbang. Aku mulai berpikir untuk menyerah pada tampon raksasa agar bisa kembali ke kamar tidur untuk menyantap makan siang saat Aheng kembali masuk. Dia tertegun sejenak melihatku masih memegangi tampon lalu tertawa geli.

“Nggak bisa atau nggak berani pakai?” tanyanya kurang ajar.

Kutimpuk kepalanya yang gundul dengan tampon sialan itu eh benda itu malah ditangkapnya.

“Kau mau apa?” tanyaku sambil menutupi dadaku ketika dia mendekatiku.

Tanpa ba-bi-bu dia jongkok di hadapanku lalu membenggangkan kakiku lebar-lebar.

“Eh, gila! Kau mau apa?” seruku marah sambil berusaha menendangnya.

Dengan santai ditangkapnya kakiku yang sedang melayang dan disampirkannya di pundaknya. Tangannya yang satu menahan pahaku yang lain. Aku terus memaki sambil menggeliat untuk melepaskan diri sampai pantatku bergeser maju ke mukanya. Aku sudah tidak punya malu lagi. Rasa takutku pun hilang. Aku berharap dia jijik melihat mem*kku yang berdarah, tapi harapanku sia-sia. Aheng seperti tuli. Dia merobek bungkus tampon dengan giginya lalu mengeluarkan tampon beserta longsongannya.

“Awas kalau kau berani!! Akan kubunuh kau!! Pergi! Jangan sentuh aku!” ancamku.

Ancamanku lama-lama berubah menjadi jeritan ketakutan.

“Tidaaak!! Jangaaaan!! Aaaaah!! Uggghhhh!!”

Aku berteriak kesakitan saat Aheng menyodok longsongan tampon ke mem*kku. Kupukuli lengan dan pundaknya dengan keras.

“Hhhgggh!!”

Aku mengejan saat tampon gede itu didorong masuk dengan paksa. Tanpa ragu dan belas kasihan, Aheng terus menekan tampon itu sambil memutarnya agar bisa masuk lebih dalam. Air mataku mengembeng seiring rasa linu dan perih yang timbul. Duk. Ujung tampon menyodok bibir rahimku dengan mantap. Aku hanya bisa meringis kesakitan saat Aheng menarik keluar longsongan tampon. Akhirnya Aheng memerkosaku juga walau dengan tampon. Lalu seperti biasa, dia meninggalkanku tanpa berkata apa-apa.

Aku termangu memandangi selangkanganku. Ada tali tampon menjuntai keluar di sana. Mem*kku terasa sesak dan mengembang. Aku mencoba berdiri dan berjalan. Tampon itu membuatku tidak bisa berjalan dengan kaki rapat. Tapi lama-lama terasa nyaman juga karena daya resapnya luar biasa apalagi bila mem*kku berkontraksi, rasanya seperti sedang disetubuhi tanpa henti.

Sore harinya Aheng kembali masuk kamar. Dia tidak juga mau pergi saat kuusir dengan sambitan bantal, guling dan selimut. Dia malah menyeretku ke dalam kamar mandi. Perlawanan yang kulakukan dengan cara menggigit tangannya dan menendang tulang keringnya sia-sia. Gorila ini seperti terbuat dari batu. Nyaliku mulai ciut dan bentakanku melemah. Jangan-jangan kali ini dia benar-benar ingin mencicipi tubuhku.

“Ayo, cepat mandi. Sebentar lagi bos pulang,” ujar Aheng seakan aku ini anak kecil saja.

“Mana bisa aku mandi kalau kau ada di sini. Memangnya aku tontonan?”

“Bos biasa begitu.”

Ah, pantas saja. Kalau memerkosa di depan umum saja tidak malu apalagi mandi ditonton bodyguard-nya. Kurasa BL itu benar-benar gila. Mungkin dia sejenis penganut sadomasokis eksibisionis.

“Apa bosmu yang menyuruhmu menungguiku mandi?” tanyaku jengkel.

“Bos bilang, aku harus memasangkan tampon lagi.”

“Kalau aku nggak mau?”

“Kau harus mau,” ujar Aheng sambil menyalakan shower.

“Aaaargh! Pelan-pelan dong!” seruku sewot saat dia mencabut tamponku dengan kasar.

Aheng tak menyahut dan malah mulai memandikanku. Boleh dibilang dia ikut mandi karena aku tidak bisa diam. Aku terus memaki sambil meronta, tapi juga tertawa karena sentuhan tangannya saat menggosok ketiakku membuatku kegelian. Tapi tubuhku langsung mematung saat jari-jarinya menyentuh klitorisku.

“Sudah. Jangan,” cegahku sambil menepis tangannya. “Jang…an. Oooh…”

Tanpa sadar aku mengerang. Aku menikmati gosokan jari dan telapak tangannya. Aku mendesah kecewa saat tangan Aheng hanya lewat sekejap dan terus turun ke kakiku. Aku menggigit bibir agar jangan sampai meminta gorila itu kembali menyentuh daerah terlarangku. Aku bahkan tidak peduli lagi kalau aku sedang mens. Toh, Aheng sendiri tidak merasa jijik. Aku tak bisa lagi menahan hasratku saat Aheng membilas tubuhku.

“Mmm… Ada yang belum bersih,” gumamku.

“Mana?” tanya Aheng heran.

Aku menunduk malu.

“Di situ,” ujarku pelan sambil menunjuk ke bawah pusarku.

Aheng menyemprotkan shower ke pangkal pahaku yang dibasahi aliran darah segar.

“Bukan, masih ada sisa sabun di atasnya,” ujarku nekat.

“Dia cuma bercanda, Heng. Sudah bersih kok.”

Oh my God!!! Mukaku terasa panas hingga ke kuping. Aku mendongak dan melihat BL berdiri bersandar di pintu kamar mandi yang terbuka. Dia masih memakai kemeja kerja yang kedua lengannya digulung. Kedua tangannya bersedekap dan senyum mengejek meronai wajahnya.

“Pasangkan tamponnya,” perintah BL sambil melepas dasi.

“Kenapa harus tam… Aduh!”

Aheng meregangkan kakiku hingga aku terhuyung. Tak dipedulikannya darah yang menetes ke lantai dan dengan sekali sodok dia memasukkan tampon raksasa itu.

“Aaaaooh! Sakit! Gila!” teriakku. Kujitak kepala Aheng dengan kesal, untung dia tidak melawan. “Apa kau nggak bisa pelan-pelan?”

“Jangan pura-pura nggak suka,” tukas BL datar sembari membuka kancing kemejanya.

“Kau sengaja memberiku tampon ukuran gajah untuk menyiksaku kan?”

“Tapi kau merasa terangsang kan? Perempuan memang selalu begitu. Bilang nggak, tapi maksudnya iya. Bilang sakit, tapi sebenarnya enak. Apa tadi kau mau menggoda Aheng? Pengen mencoba kont*lnya?”

Aku mendelik dengan wajah merah. Belum sempat aku membela diri, dia sudah bicara pada ajudannya.

“Heng, buka celanamu.”

Aku berjaga-jaga saat Aheng yang berdiri di depanku membuka celananya. Aku terkesiap melihat kont*l gorila itu yang … nyaris tidak ada. Hanya ada gundukan daging lembek sepanjang dua sentimeter. Astaga, apa yang sudah dilakukan BL padanya?

“Ke… kenapa begini?”

Aheng diam saja dengan wajah membeku.

Aku berpaling pada BL dan berseru geram, “Kau bukan manusia! Dasar binatang ke…”

“Jangan bilang begitu pada bos!” bantah Aheng dengan suara menggelegar sehingga aku melompat mundur terkaget-kaget.

“Sudah. Sekarang kau berdiri di sana,” perintah BL berikutnya pada Aheng.

Mulut Aheng terkatup dan dengan patuh dia berdiri di dekat bathtub tanpa menaikkan celananya. Aku menatapnya dengan iba, tapi sama sekali tak tampak ekspresi malu atau menderita di wajahnya.

“Dia paling benci dikasihani,” tukas BL sembari mendekatiku.

Aku berlari keluar, tapi dengan gesit gorila itu menghalangi langkahku. BL memelukku dari belakang. Aku meronta, mencoba melepaskan diri, tapi libatan lengannya makin erat. Lidahnya menyapu kuduk dan telingaku. Giginya meninggalkan bekas di leher dan pundakku yang masih basah. Jari-jarinya meremas payudaraku dan memilin putingku dengan keras.

“Ugh… Hhhh…,” desisku sembari meringis menahan sakit.

Gilanya aku mulai terangsang. Tanpa menerima perintah, otot-otot liang vaginaku sudah meremas tampon besar di dalam dengan getol. Aku kembali terhuyung mengikuti tubuh BL yang terus mundur dan jatuh terduduk di atas pangkuannya. Ternyata dia duduk di atas kloset. Aku masih terus berusaha kabur meski jari-jarinya sudah mengusap bagian dalam pahaku. Kucoba mengatupkan pahaku, tapi ditahannya dengan kuat. Perlawananku melemah saat klitorisku disentuhnya.

“Kau menikmatinya kan? Buktinya kau makin basah. Begini nih cara masturbasi yang benar. Ayo, lihat. Nggak usah malu-malu. Mumpung ada yang mau ngajarin.”

BL melepaskan payudaraku dan menundukkan kepalaku sehingga aku terpaksa melihat apa yang sedang dilakukannya. Dia sedang membuat putaran-putaran kecil di klentitku, kadang sesekali mencongkel benjolan kecil yang mulai mengeras itu. Tubuhku menggeletar menahan gelinjang dan bibirku kugigit keras untuk menahan ledakan erangan erotis yang ingin keluar. Napasku mulai memburu lagi setelah kuku jari BL menelusuri lekukan klent*tku sambil sedikit menekannya. Aku baru bisa bernapas lega setelah dia menarik jarinya.

“Ini darah bukan, Heng?” tanya BL sembari melambaikan jari tengah kanannya yang mengkilap.

“Bukan bos, bening.”

BL tertawa mengejek.

Di dalam pasti super becek sampai luber keluar tampon. Horny berat begini kok masih jual mahal. Kau masih harus belajar banyak. Teknik masturbasimu masih payah.”

Melihatku tercenung, BL tertawa lagi.

“Kau pikir aku nggak tahu kalau kau suka sekali masturbasi. Delapan kali sehari rekormu. Seperti olah raga saja ya mandi keringat.”

“Ka… kau… mengintipku?” tanyaku terbata.

“Ada tiga kamera di sini dan empat di sana,” ujar BL seraya mengedikkan kepalanya ke arah kamar tidur.

Rasanya aku ingin menghilang selamanya dari dunia saat ini juga. Ditertawakan BL memang memalukan dan menjengkelkan, tapi bila Aheng juga ikut menertawakanku mau dikemanakan harga diriku? Oh, papa, kenapa nasibku menyedihkan begini?

“Orgasme itu enak kan?”

Aku menggeleng pelan. Tentu saja enak, tapi aku malu mengakuinya.

“Dasar cewek. Munafik. Ayo, turun.”

Aku yang tidak mau bergerak didorongnya dengan kasar hingga nyaris nyungsep ke lantai. Untung saja Aheng berbaik hati menahan pundakku. Namun gorila itu lalu memaksaku berlutut menghadap majikannya yang tengik. Kont*l BL yang setengah tegang mengacung di depan hidungku.

“Jangan berlagak jijik. Apa kau lupa, ini yang membuatmu ketagihan masturbasi?”

Aku ragu. Aku benci kont*l ini, tapi juga rindu padanya. BL yang tak sabar melihatku diam saja, menyuruh Aheng untuk membantuku.

“Oooh… Hhhh…”

Aku mendesah nikmat saat tangan Aheng menyelonong di sela-sela kakiku dari belakang untuk menggosok klentitku. Tangan satunya mengarahkan kepalaku hingga mulutku yang terbuka mencaplok kont*l BL.

“Mmmm…”

“Bagus. Jilati bagian kepalanya. Auch! Jangan pakai gigi dong! Heng!”



“Mmmph!”

Tubuhku terlonjak maju karena Aheng mendadak memencet klentitku kuat-kuat seperti sedang memites kutu saja. Aku megap-megap nyaris tersedak karena kont*l BL melesak masuk menonjok anak tekakku dengan telak.

BL terus memberi instruksi bagaimana cara mengoral dengan baik dan benar. Tak hanya batang penisnya, kedua buah pelirnya juga harus kujilati. Dia mendesah nikmat saat aku mengemut kepala kont*lnya dengan getol. Bila gigiku tak sengaja menyentuh kont*l atau pelirnya, BL langsung berteriak ‘Heng!’ dan Aheng pun menjepit kacangku dengan keras hingga aku mengernyit kesakitan. Setelah kont*lnya mengeras, Bl memakai kondom. Kali ini polos dan tipis sekali. Aku disuruhnya duduk di atas pangkuannya lagi seperti tadi.



“Aaaaghh!!.... Oooaaaah!!”

Aku menjerit kaget bercampur sakit saat kont*l keras itu mencoblos anusku. Lubang duburku belum terbiasa juga disodomi meski sudah berulangkali mengalaminya. Namun rasa sakitku perlahan berubah menjadi nikmat karena BL kembali mengelus-elus klentitku lagi.



“Kau kepingin mencoba kont*l Aheng kan? Ayo, Heng.”

“Aku ngga…. agh….Agh… mau…”

“Emut kont*lnya. Ayo, Heng.”

Aheng meraih kepalaku ke arah kont*lnya dengan mantap hingga hidungku menumbuk hutan jembutnya. Bibirku terasa geli saat menyentuh gumpalan daging lembek yang berbau pesing. Aku nyaris tak bisa bernapas setelah tubuhku terdorong ke depan. Perlahan tapi pasti aku mulai menjilat dan mengulum penis buntung itu sembari menggelinjang.

BL terus merangsangku dengan ganas. Jari-jari kanannya mencubit, menggaruk dan mencongkel klentitku sedang tangan kirinya memerah payudaraku kiriku. Lidahnya menjilati pungungku sembari sesekali menggigitinya. Sementara itu pantatnya terus menghentak ke atas sehingga kont*lnya bagai pasak yang memaku pantatku.

Aheng sepertinya lupa kalau penisnya sudah tidak utuh. Dengan penuh semangat, dijambaknya rambutku dan dinaik-turunkannya kepalaku. BL mulai membuat cupang di leher dengan getol hingga aku tersedak. Tapi mereka tak juga berhenti sampai tubuhku tergencet. Erangan kami bertiga bersahutan dan menggema di kamar mandi.

Mendadak BL menarik tubuhku dan menurunkanku hingga berlutut di lantai. Dia melakukannya tanpa mencabut kont*lnya. Aku sudah lupa berontak. Aku menurut saat dia menyuruhku bergeser. Aku mendesah nikmat begitu kedua tangan BL kembali merambah payudara dan klentitku. Mataku merem-melek menikmati semua ini meski perlakuan mereka makin kasar. Sodokan kont*l BL makin dalam dan payudaraku sakit. Hidungku terasa makin pesek karena ditekan kuat-kuat oleh Aheng ke bagian bawah perutnya. Air liur berceceran menetes dari mulutku.

Mendadak Aheng menggeram keras dan kurasakan ada cairan asin mengalir dari lubang kecil di tengah penis buntung itu. Aku sendiri mengerang tanpa henti sambil mengempot tampon raksasa dalam tubuhku sekeras mungkin. Melihat Aheng melepaskan kepalaku, BL menjambak rambutku, menarikku bangun. Kedua tanganku yang mendadak tak punya pegangan mencari-cari pegangan baru. Kujambak rambut BL dari depan.

“Aaargh…”

Dengkulku sudah pedas apalagi anusku, tapi sungguh mati, rasanya nikmat sekali. Kami saling jambak sambil mengerang makin keras.

“Eerggh… Ngggh… Oooh… Aaaaaaahhh…”

Tubuhku bergetar keras dan kurasakan tampon raksasa itu mendadak basah kuyup. Aku terkulai lemas setelah orgasme pertamaku dari sodomi, tapi BL masih terus mengayun tubuhnya. Kemudian dia menarik kont*lnya dan membaringkanku di lantai. Aku terhenyak saat dia mendadak menduduki perutku. Setelah melepas kondom, kont*lnya di jepit diantara kedua payudaraku.

“Kau belum pernah titf*ck kan? Sekarang pegang yang kuat,” perintahnya sambil menaruh kedua tanganku di pinggir sepasang gunung kembarku.

Sepasang buah dadaku memang besar, mungkin karena dulunya aku gemuk. Kont*l BL seperti sosis besar yang terjepit dua buah roti burger. Aku merasa geli saat jembut BL menggosok dadaku. Tapi melihatnya merem-melek penuh kenikmatan, aku jadi terangsang lagi. Aku ikut-ikutan mendesah dan mengerang.

CROT! CROT!

Air mani BL menyembur ke leher dan wajahku. BL tampak puas dan menertawaiku yang terengah-engah. Aku capek sekali sampai tidak punya tenaga lagi untuk memaki atau meludahi BL yang meratakan spermanya ke seluruh wajahku.

“Apa kau mau dimandikan Aheng lagi?”

BL terus melatih mulut dan anusku selama aku mens. Tampon besar yang mengganjal dalam mem*kku membuatku merasa seperti sedang disandwich bila kont*l BL mengebor anusku. Dia menyodomiku dengan berbagai gaya, berdiri, duduk, nungging, tengkurap sampai berbaring miring. Meski tak pernah memakai pelumas, lama-lama aku terbiasa juga dan selalu menimati orgasme. Tapi tetap saja aku lebih suka disetubuhi lewat jalan yang benar. Jadi aku sangat senang saat menstruasiku usai dan kont*l BL kembali menyambangi liang vaginaku.

Tapi hal ini bukan berarti aku rela digaulinya begitu saja. Aku selalu melawan dengan keras bila dia mendekat. Aku benci sekali melihat gayanya yang mengancam dan sok kuasa seakan aku ini barang miliknya yang bisa dipermainkan begitu saja. Aku tahu, seharusnya aku memakai cara lain selain kekerasan karena perlawananku hanya akan membuat birahi BL semakin melonjak tinggi. Dengan penuh semangat dia memiting dan meringkusku sebelum menyetubuhiku dengan kasar. Bisa dibilang perkelahian kami adalah foreplay.

Tak cukup dengan mengajariku lewat praktek, BL juga menjejalkan teori bercinta (ralat: yang kami lakukan sama sekali tidak pantas disebut bercinta karena tak ada setitik pun molekul cinta di sana) lewat majalah, buku dan film. Kamarku yang tadinya kosong, hanya berisi ranjang besar dan lemari mendadak menjadi penuh setelah dua rak buku memenuhi dua sisi tembok hingga ke langit-langit. Ditambah lagi sebuah televisi plasma berukuran 42 inci. Rak itu dipenuhi berbagai buku teori dari kamasutra hingga novel-novel seks dan majalah pornografi dari dalam dan luar negeri. Tapi yang lebih gila, tv besar itu terus menyiarkan film-film porno tanpa henti. Bahkan saat jam tidur pun televisi itu terus menyala hanya suaranya yang mendadak di-mute. Aku tak bisa menyalakan dan mematikan tv itu sesuka hatiku karena dikontrol dari luar.

Aku seperti sedang dicuci otak. Yang ada di kepalaku hanya seks melulu. Sepraiku lembab karena selangkanganku terus-terusan becek. Aku tak peduli lagi dengan kamera-kamera pengintai yang ada. Aku ikut menggelinjang dan mengerang seperti bintang porno yang kutonton. BL sendiri juga senang menggumuliku di depan tv. Dia sering memaksaku menceritakan apa yang sedang ditayangkan di layar datar itu dengan detail. Suaraku yang terputus-putus karena ngos-ngosan membuatnya makin gila menggenjotku. Saat orgasme, kami adu teriak dengan bintang porno yang sedang kami tonton.

Akhirnya aku capek. Mataku pedas karena terus menonton dan membaca. Tenggorokanku kering karena terus mengerang dan berteriak. Badanku pegal-pegal karena terus menggelinjang dan mengejang. Aku jenuh dan mulai putus asa. Apa aku akan menghabiskan sisa hidupku dengan cara seperti ini?

Kuputuskan malam ini aku harus keluar dari kamar mesum ini. Satu-satunya tempat mengungsi ya kamar mandi. Baru lima belas menit nongkrong di atas kloset, mendadak lampu kamar mandi mati. Walau sempat menjerit kaget, tapi aku tetap diam di tempat. Aku tidak tahu apa lampu kamar mandi ini benar-benar mati atau dimatikan dari luar karena lampu kamar tidur masih menyala.

Sinar lampu kamar yang menerobos masuk lewat lubang ventilasi di atas pintu membuat kamar mandi ini tidak gelap gulita. Tapi yang menarik perhatianku ventilasi di dinding atas dekat langit-langit. Kupandangi cahaya bulan yang lembut dengan mata berkaca-kaca. Bisa jadi yang kulihat bukan sinar bulan melainkan sinar lampu teras. Aku menghela napas panjang. Belum pernah aku merasa begitu kesepian. Aku juga baru sadar kalau sudah dua bulan lebih aku tidak melihat matahari dan bulan. Yang kulakukan tak ada bedanya dengan misi bunuh diri yang gagal. Aku tercenung, sampai kapan aku dikurung seperti binatang piaraan? Haruskah aku bunuh diri?

Kudengar pintu kamar terbuka, tapi aku bergeming. Paling yang datang Aheng atau BL. Nah, betul. Aheng muncul didului sinar senter. Aku menggeleng saat dia menarik lenganku kembali ke kamar.

“Please, Heng. Aku mau di sini saja.”

Sinar senter menerangi wajahku. Kurasa dia heran mendengarku bicara sopan padanya tanpa berontak sedikit pun. Apalagi wajahku lesu dan suaraku serak. Dia melepas cekalan tangannya.

“Aku mau sendirian.”

Tapi dia tak juga pergi meninggalkanku meski aku terus memohon dengan suara bergetar.

“Paling nggak, tolong tutup pintu dan matikan senternya,” ujarku menyerah.

Tanpa banyak tanya, dia menuruti permintaanku. Entah berapa lama kami saling diam dalam gelap. Yang jelas aku tersiksa sekali. Sungguh tak enak menangis dalam gelap sambil ditemani orang yang kita benci. Aku sampai harus bernapas lewat mulut agar Aheng tidak mendengar bunyi ingus yang membanjiri hidungku.

“Aku juga pernah menangis sendirian dalam gelap begini,” mendadak dia bicara. “Waktu aku nggak jadi laki-laki lagi.”

Tangisku sontak berhenti. Hatiku miris mendengar cerita Aheng tentang bagaimana dia kehilangan penisnya. Tujuh tahun yang lalu seorang pengusaha mabuk mengamuk di Sanctuary gara-gara ayam incarannya direbut BL. Pengusaha itu nekat menikam perut BL. Tapi Aheng dengan gesit menjadikan dirinya tameng dan karena tubuhnya lebih tinggi dari majikannya maka pisau itu menikam kont*lnya dengan sukses.

“Apa Non tahu, kenapa tidak ada pembantu cewek di rumah ini?”

Aku terbengong mendengar pertanyaan itu. Mengapa tema pembicaraan meloncat jauh? Apa dia merasa tidak enak sendiri karena sudah menceritakan nasib tragisnya? Tapi benar juga. Aku baru sadar kalau yang bertugas membersihkan kamar tidur dan kamar mandiku semuanya lelaki. Setiap dua hari sekali biasanya dua orang dari mereka membersihkan kamar saat aku mandi. Dan saat kamar mandi dibersihkan, Aheng berada dalam kamar untuk menjagaku.

“Karena semua pembantu cewek sudah dihabisi Tuan Bandi,” ujarnya menjawab pertanyaannya sendiri.

“Dihabisi?”

“Ya.”

Aku tidak tahu maksud dihabisi itu diperkosa dan disiksa habis-habisan atau dibunuh dan dimakan sampai habis. Aku tidak berani bertanya lebih lanjut karena bagiku semuanya mengerikan. Aku tidak bergidik lagi, tapi gemetar ketakutan.

“Empat tahun yang lalu, Ai Ling yang mengasuh Tuan Bandi dan bos sejak kecil juga disikat sampai bos marah sekali. Nggak ada yang bisa mengendalikan dia sejak Tuan dan Nyonya besar meninggal dalam kecelakaan pesawat enam tahun lalu. Dia cuma takut sama bos, tapi bos juga nggak bisa mengawasinya terus. Sekarang Non satu-satunya cewek di rumah ini karena dua ayam yang dibawa Tuan Bandi sudah dikembalikan ke club kemarin malam. Yang satu masih pingsan dan yang satunya kayaknya jadi gila. Jadi Non seharusnya bersyukur karena bukan Tuan Bandi yang membeli Non, tapi bos. Kalau nggak, Non mungkin sudah ‘lewat’.”

Ya Tuhan! Si klemer itu ternyata nggak kalah mengerikan dari Hannibal Lecter dan semua psikopat di film-film Hollywood lainnya.

“Kenapa nggak ada yang lapor ke polisi?”

Aheng mendengus sinis.

“Memangnya polisi kurang kerjaan sampai mau ngurusin ayam-ayam? Lagipula bos sudah berjanji di depan peti mati papa-mamanya kalau dia akan menjaga Bandi sampai mati. Nggak mungkin bos menyerahkan saudaranya ke polisi.”

Saat itu juga niatku untuk kabur kembali muncul. Aku tak mau tinggal seatap dengan pembunuh berantai.

“Non nggak usah khawatir,” ujar Aheng seperti bisa membaca pikiranku. “Bos sudah menyuruhku menjaga Non dengan ketat. Pengawal Tuan Bandi nggak ada yang berani cari masalah denganku. Tuan Bandi sendiri juga segan sama aku.”

Mendadak pintu kamar mandi terbuka dan siluet tubuh kurus membayang di lantai kamar mandi. Aku buru-buru mengelap wajahku yang basah. Aku tidak mau BL melihatku menangis.

“Mesra sekali. Mojok gelap-gelapan begini,” tukas BL sinis.

Lalu dia mendekati Aheng dan menggamparnya dengan keras. Aheng diam saja, sepertinya gamparan tadi hanya sengatan nyamuk di pipinya. Aku malah meraung marah.

“Apa-apaan kau ini? Dia kan nggak salah!”

“Oh, jadi kau membelanya? Memangnya dia sudah berbuat apa padamu? Mengoralmu? Soalnya dia nggak mungkin mengent*tmu.”

PLAK! Kutampar BL sekeras mungkin. Dan seperti biasa dia berusaha meringkusku. Tapi karena kondisi gelap, dia sedikit mengalami kesulitan. Kami bergumul dan saling mendorong. GUBRAK! Botol-botol yang ada di atas wastafel terguling setelah tangan kami berdua tanpa sengaja menyamparnya. Aheng tetap diam mematung meski kakinya terinjak dan perutnya tersikut olehku. Telinga gorila itu seakan tuli total, tak mendengar pertengkaran kami berdua soal dirinya.

“Dasar bajingan nggak tahu diri! Kau berhutang nyawa padanya, tahu!” sergahku sembari menonjok dada BL.

“Sok tahu! Dia yang berhutang nyawa padaku! Aku yang mengeluarkan dia dari penjara dan membiayai operasi ibunya!” balas BL sambil memiting lenganku.

“Tapi nggak seharusnya kau menghinanya begitu!”

“Dia sendiri diam saja kenapa kau yang ribut? Eh, mukamu basah. Kau habis menangis ya?” tukasnya mengejek.

Kuludahi wajahnya namun dia malah menciumku dengan paksa hingga aku megap-megap. Aku masih sulit bernapas biarpun dia sudah melepaskan kepalaku. Kedua lengannya yang kurus liat membelit tubuhku dengan kuat bak ular anaconda, seakan ingin meremukkan tulang-tulang rusukku.

“Apa yang kau tangisi hah?”

“Aah… aku… nggak… bi…sa… na…pas…,” sahutku tersengal sambil meronta.

“Apa??” bentaknya sambil mempererat pelukannya.

Kupukuli dada dan punggungnya. Dia membentak lagi. Kali ini persis di depan telingaku.

“A…a…ku… i…ngin… ke…lu…ar…”

“Hah? Kau ingin orgasme? Kau ini benar-benar nymphomaniac!”

Aku hampir mati mendongkol mendengarnya hinaannya.

“Bu…kan…i…tu…bo…doh…”

BL tertawa geli mendengarku masih bisa memaki.

“Oh, kau ingin keluar dari kamar ini? Bilang begitu saja susah. Ayo, kita keluar.”

Aku langsung menggelosor jatuh begitu dia melepaskan pelukannya. Dengkulku pasti memar lagi. Belum sempat berdiri dengan benar, dia sudah menyeretku keluar. Langkahnya yang panjang membuatku pontang-panting mengikutinya. Kaos singletku berkibar memperlihatkan selangkanganku yang telanjang. Tapi seisi rumah yang kebetulan melihat kami tampak cuek. Sepertinya mereka sudah biasa melihat kegilaan majikan mereka. Aheng terus mengikuti kami seperti bayang-bayang.

BL membawaku keluar bangunan rumah induk yang luas dan bergaya minimalis menuju kolam renang di halaman belakang. Aku mulai ciut. Aku tak bisa berenang. Tapi dia malah menyeretku menaiki tangga menara papan loncat setinggi tiga meter. Kakiku berusaha mengerem namun hasilnya pergelangan tanganku sakit karena dia terus menarik paksa dengan kasar. Aheng juga membantu mendorongku maju.

Akhirnya kami sampai juga di puncak menara. Aheng turun meninggalkan kami berdua. BL menatapku sejenak dengan dingin, sedingin angin malam yang membuatku menggigil sebelum mengalihkan pandangannya ke langit. Di langit, bulan purnama sedang berlayar di antara gumpalan-gumpalan awan tipis.

“Aku bisa membunuhmu kalau aku mau.”

Aku meliriknya. Kalimat itu diucapkannya dengan ringan seperti sedang berkata ‘Aku suka makan es krim.’.

“Ya, aku tahu,” sahutku dengan gaya tak acuh.

“Kau nggak takut kalau aku mencekikmu dan melempar mayatmu ke bawah? Aku juga bisa menggantungmu di sini supaya digigiti codot. Atau mengikatmu di sini selama seminggu tanpa diberi makan-minum supaya kau mati dehidrasi.”

Gila. Memang gila dia.

“Eh, biarpun kau makhluk kebal hukum apa kau nggak takut sama dosa? Bagaimana sih cara orang-tuamu mendidikmu? Kenapa anak-anaknya semuanya gila? Jangan-jangan mereka juga gila.”

Seharusnya aku diam atau memohon agar tidak dibunuh, tapi darah panasku bergolak dan lidahku yang liar susah dikendalikan. Padahal aku takut mati.

Wajah BL sontak membeku begitu mendengarku menghina orang-tuanya. Aku tahu, kedua orang-tuanya tewas dalam kecelakaan pesawat di Kanada tujuh tahun yang lalu. Mendadak dia mendorongku dengan kasar. Aku terhuyung mundur ke arah ujung papan yang menjulur ke kolam. Dia mendorongku lagi dan aku terjatuh terduduk. Buru-buru aku memegangi papan kuat-kuat begitu melihat air kolam yang jernih kebiruan.

“Kelihatannya kau takut ketinggian. Hmm… bukan. Kalau kau takut ketinggian, kau pasti sudah merangkak dari tadi. Kau pasti nggak bisa berenang. Betul kan?”

Wajahku memucat. Buku-buku jariku memutih saking kuatnya mencengkeram pinggir papan. Bukannya mendorong atau menendangku hingga tercebur ke bawah, BL malah asyik memandangi kakiku yang mengkangkang memamerkan selangkanganku yang telanjang. Aku bisa melihat bagian depan celana pendeknya mulai menggembung. Astaga! Apa dia ingin main di atas sini?

Dengan santai BL menelanjangi diri sambil mempermainkanku. Sesekali kakinya menendangku. Kulancarkan tendangan balasan sambil menggigit bibir. Aku tak mau dia tertawa senang mendengar jeritan ketakutanku. Karena tidak menerima perlawanan maksimal, dengan mudah dia menindihku. Aku hanya bisa melawan dengan satu tangan, tapi setelah menyadari usahaku hanya membuat tubuhku bergeser makin ke ujung papan, aku menyerah. Setengah kepalaku sudah tergantung bebas, membuat rambutku berkibar menutupi wajahku.

SRET. Dengan giginya, BL merobek kaos singletku. Dengan buas, gigi, lidah dan jari-jarinya menjelajahi lekuk tubuhku, membuatku mengerang dan terlonjak tertahan.

“Aaaah!” erangku keras saat kont*lnya menusuk masuk lubang mem*kku.

Aku mengutuki diriku. Bagaimana bisa aku mendesah nikmat di saat kritis seperti ini?

BL menggenjotku dengan mantap. Setiap genjotan, membuat tubuhku maju dan akhirnya kepalaku terayun bebas dari pinggir papan. Déjà vu. Mengingatkanku saat dia memerawaniku dengan paksa di hadapan puluhan orang di Sanctuary. Tapi tergantung dari atas meja dan papan loncat setinggi tiga meter sangat berbeda. Kalau dulu saja aku sudah pusing, sekarang aku mual.

Kubelitkan kakiku pada pinggang BL erat-erat. Kalau aku harus jatuh paling tidak, aku tidak sendirian. Namun akibatnya, lubang vaginaku mekin terbuka lebar dan sodokan kont*l BL menggesek G-spotku dengan telak.

“Ooooh…Nghhh… Nghhh… Oaaah….Aaah! Aaaah!! Aaaaaaaaah!!!”

Gila! Teriakan orgasmeku yang super lantang di malam sepi ini pasti terdengar seisi rumah. Mungkin tetangga sebelah juga ikut mendengar. Astaga! Jangan-jangan mereka semua menonton kami.

BL berhenti bergerak. Disibakkannya rambut yang menutupi wajahku. Aku benci sekali melihat sorot matanya yang mengejek. Sudah telanjur aku menjerit, tapi biarlah mungkin saja tadi orgasmeku yang terakhir dalam hidupku.

“Bagaimana orang-tuamu mendidikmu? Kalau kau bisa delapan kali sehari masturbasi. Apalagi mereka. Jangan-jangan kerja mereka cuma ngent*t tiap hari.”

Aku marah sekali. Kuludahi wajahnya.

“Ya, aku tahu pasti mereka juga sering meludah. Pasti mereka nggak berpendidikan, kampungan,” ujar BL sambil melepas kedua tanganku dari papan lalu merentangkannya di udara sehingga aku merasa gamang.

Biarpun begitu aku melawan dengan sekuat tenaga, tapi cekalan tangannya di pergelangan tanganku kuat sekali. Apalagi dengan perlahan dia kembali menggoyang pantatnya. Tanpa sadar aku meremas kont*lnya yang kembali menggesek G-spotku. Aku baru sadar, kalau dia belum orgasme.

“Hmmph… empotan mem*kmu benar-benar luar biasa. Sayang…”

BL tidak melanjutkan kata-katanya dan memilih mendecak sambil menggeleng dengan tampang sok sedih.

“Seperti apa orang-tuamu? Kalau mereka baik, kenapa kau bisa terdampar di tempat seperti Sanctuary itu? Kau kan bisa memilih pekerjaan di tempat yang lebih baik seperti jadi kasir di swalayan. Dibyo bilang, kau yatim-piatu, tapi masa kau sama sekali nggak punya keluarga sih? Masa sampai sekarang nggak ada yang melaporkan kehilanganmu ke polisi? Hey, jangan diam saja. Jawab!”

BL memberondongkan pertanyaan sembari menggenjot cepat lalu berhenti. Terus begitu. Beberapa kali aku sudah nyaris orgasme untuk kedua kalinya, tapi gagal karena dia mendadak berhenti bergerak.

“Kok kau seperti kepingin menangis lagi. Tumben malam ini kau cengeng. Ada apa sih?”

“Please, jangan begini.”

“Begini apa?”

Aku terdiam. Berusaha mengusir keinginan gila dari otakku. Apa jadinya kalau aku minta dia menggenjotku dengan keras agar aku bisa orgasme? Tapi BL terus mempermainkanku dengan genjotan dan kata-kata menyakitkan.

“Please…”

Aku benci sekali harus memohon pada bajingan jahanam sialan ini, tapi aku lebih benci mendengar sahutannya yang bernada polos.

“Aku nggak ngerti kau minta apa. Dari tadi bilang please please melulu.”

“Aku mau… keluar…”

“Keluar ke mana lagi? Sekarang kan kita sudah di luar.”

Tak sabar dengan jawaban yang menyiksa, aku memilih menggoyang pantatku. Tapi BL menggencet tubuhku sehingga aku tak bisa bergerak.

“Kau ternyata suka main curang. Jawab dulu, seperti apa orang-tuamu. Kalau jawabannya bagus, aku nggak suka. Dan kalau aku nggak suka, akan kutinggalkan kau sendirian di sini bersama Aheng. Kau lebih suka dia daripada aku kan? Tapi aku nggak yakin kont*l buntung itu bisa bikin kau melonjak kegirangan kayak tadi.”

Kugigit bibirku yang bergetar menahan marah dan tangis.

“Papaku orang yang munafik dan mamaku tukang mengeluh!” seruku tanpa pikir panjang.

Gelombang penyesalan langsung menerpaku. Anak macam apa aku ini? Lebih mementingkan kepuasan diri daripada harga diri. Aku benar-benar anak durhaka, durjana…

BL nyengir puas lalu memompaku dengan kuat. Tubuhku makin bergeser maju. Aku menjerit-jerit. Aku sendiri tidak bisa membedakan antara jeritan kepuasan dan ketakutan. Semuanya bercampur jadi satu. Mendadak BL mencabut kont*lnya, melepaskan belitan kakiku dan mendorongku ke bawah.

Tubuhku tergantung terbalik. Yang menahan berat badanku hanyalah cengkeraman tangan BL pada kedua pergelangan kakiku. Kepalaku pusing karena darah mengumpul di kepala.

“Apa permohonanmu yang terakhir?”

Aku berusaha menenangkan diri dan berujar segagah mungkin,

“Terima kasih sudah membebaskanku.”

Lalu dia melepas kakiku. Biarpun kepalaku di bawah, rasanya jantungku tenggelam ke dasar perut. Aku tidak menjerit. Bukan karena gengsi, tapi karena seluruh syarafku mati rasa. Aku hanya bisa memandangi bulan yang semakin menjauh.

BYURRR!!

Kolam ini ternyata dalam juga. Kalau dalamnya cuma satu setengah meter, kepalaku pasti sudah pecah terbentur dasar kolam. Aku langsung panik, menggapai-gapai ke sana-kemari. Tubuhku seperti kapal bocor, dimasuki air dari berbagai lubang. Hidung, mulut, kuping dan mungkin juga mem*kku kebanjiran air.

BYURR!!

Ada orang lain yang ikut terjun ke kolam. Untuk menyelamatkanku atau menenggelamkanku? Mungkin BL melihat kalau aku masih hidup dan menyuruh Aheng atau anak buahnya yang lain untuk menahanku agar tetap di sini. Namun ternyata orang ini menarik pinggangku dan menyeret tubuhku ke atas.

UWAH! Leganya! Akhirnya aku tidak dikelilingi air lagi. Aku megap-megap sekaligus terbatuk-batuk sampai dadaku sakit. Air keluar dari mulut dan hidungku. Aku menurut saja saat dibawa dan disandarkan ke tepi kolam.

Aku tidak tahu berapa lama aku mempertaruhkan nyawaku di dasar kolam, yang jelas aku lelah sekali. Kupejamkan mataku sambil mengatur napas. Ya ampun, aku belum berterima kasih pada penolongku. Siapa…

HEK! UGH! Ada yang menghujam mem*kku!

Aku langsung membuka mata dan …. Astaga! BL sudah menggenjotku lagi! Jadi dia yang menyelamatkan nyawaku? Dia tertawa geli melihatku kaget dan terus menghentak-hentakkan pantatnya.

“Ti…dak… Aku… ng…nggak… ma…u…,” tolakku sambil mendorongnya menjauh.

Tapi perlawananku sia-sia karena tenagaku sudah terkuras di dasar kolam. Akhirnya aku hanya bisa pasrah, dipepet di pinggir kolam sembari disetubuhi dengan paksa. Air kolam beriak di sekitar kami menghasilkan bunyi kecipak.

BL melumat bibirku, mengenyot leherku, meremas payudara dan pantatku dengan gemas. Aku mulai mengerang, awalnya pelan makin lama makin keras. Lama-lama kedua lenganku yang tadinya terkulai kini memeluk dan mencakar punggung BL.

“Ooooh… Ooooh… Iiiiyaaaaahh…. Aaaaaaaaah!!!”

Pada saat aku menggelinjang dan menjerit keras, BL menggeram dan menekan pantatnya kuat-kuat. Kont*lnya menumbuk bibir rahimku dan tak seperti biasanya kali ini kurasakan semburan-semburan hangat di dalam. Aku yang kelelahan langsung terkulai lemas. Yang kulihat hanya gelap. Aku tak peduli lagi apakah setelahnya dia benar-benar akan membunuhku atau tidak. Karena aku sudah merasakan orgasme yang luar biasa nikmat.

Putih. Di mana-mana putih. Apa sekarang aku ada di surga? Eh, apa orang serusak diriku pantas masuk surga?

Kukejap-kejapkan mata dan menoleh ke kiri-kanan. Ternyata aku belum mati karena aku berada dalam kamar yang bernuansa putih minimalis. Sinar mentari yang menyusup dari ventilasi membuatku bisa melihat kamar ini. Ukurannya hampir tiga kali lipat lebih luas dari kamar tempat aku biasa dikurung. Perabotnya juga lengkap, selain ranjang besar dan seperangkat audio-video ada satu set sofa. Ada dua pintu di sisi kiri dan satu kanan. Salah satu dari ketiga pintu itu pasti mengarah ke kamar mandi. Yang satunya mungkin untuk lemari pakaian dan yang lainnya bisa jadi pintu penghubung ke kamar sebelah. Ah, sok tahu sekali aku ini, tapi layout kamar ini mengingatkanku pada kamarku dulu.

Hmm… kasur yang kutiduri ini lembut sekali, rasanya seperti berbaring di atas awan. Selimut tebal yang membungkus tubuh telanjangku juga lembut dan memberiku kehangatan sehingga membuatku ingin terus bergelung dibaliknya.

Kenapa aku bisa telanjang bulat begini? Ah, paling si gila itu menyuruh Aheng membawaku ke kamar ini setelah aku pingsan di kolam renang. Tapi tubuh dan rambutku tidak berbau kaporit, malah wangi lavender. Apa gorila itu memandikanku dulu? Lalu mengapa aku ada di kamar ini? Kamar siapa ini? Begitu banyak pertanyaan muncul di kepalaku, tapi tak semuanya bisa kujawab sendiri dengan memuaskan. Tak ada seorang pun yang bisa kutanyai karena aku hanya sendirian di kamar ini. Eh, jam berapa sekarang? Perutku sudah mulai meraung.

Aku duduk dan menggeliat. Aduh, tubuhku pegal-pegal. Anehnya selangkanganku sedikit basah. Apa karena semalam aku mimpi digumuli BL hingga aku mengerang, menggelinjang sementara dia terus berbisik ‘Kau milikku’? Apa perempuan juga bisa mimpi basah? Rasanya luar biasa, seperti nyata, tapi sepertinya tak mungkin aku tidak terbangun bila dia menindih dan menyetubuhiku seseru itu.

Setengah terhuyung, aku turun dan berjalan mendekati jendela. Kusibak gorden dan mengintip keluar. Aku hampir tak percaya bisa melihat matahari lagi, langit biru, awan putih, pepohonan hijau, taman bunga juga kolam renang tempat aku nyaris meregang nyawa… Segalanya begitu indah dan membuatku haru. Mengapa jahanam itu mendadak berbaik hati memindahkanku kemari? Apa dia menyesal karena sudah kelewatan mengerjaiku tadi malam?

Dengusan hangat di leher bagian belakangku membuatku terlonjak kaget. Jangan-jangan aku terjebak dalam kamar psikopat klemer itu lagi. Namun dengusan napas Bandi dingin lagipula aku mengenali wangi parfum Bvlgari biasa menempel di tubuh BL. Aku langsung berontak. Tapi tak mudah bergerak dalam belitan tangannya apalagi melepaskan diri.

“Apa kau nggak mau bilang terima kasih?” tukas BL sambil menggigit daun telinga kananku.

Kedua tangannya mulai memelintir putingku membuat mem*kku makin basah saja. Aku menggigit bibir untuk menahan desahan nikmat yang sudah hampir terlontar keluar.

“Apa kau nggak pernah diajari berterima kasih?”

Tangan kanannya melepas pentilku. Aku meronta, tapi malah terdiam dan merintih keenakan setelah tangannya mengusap klentitku yang basah. BL menggosok klitorisku sambil mendorongku maju. Tanpa sadar aku melepaskan cengkeraman tanganku pada kedua lengannya dan meremas gorden di hadapanku.

“Oooh…nghh…nghhh…Aaaa?”

Eranganku berhenti karena dia menarik tangannya. Tega sekali dia padahal dua gosok lagi aku akan orgasme. BL malah kembali menyibukkan diri dengan mengelus-elus pinggulku. Aku memutar pinggulku dengan harapan tangannya terpeleset ke kelaminku, tapi sia-sia. Dia lebih cerdik dariku.

“Kalaupun orang-tuamu nggak bisa mendidikmu dengan baik, tapi paling nggak gurumu pasti pernah mengajarimu untuk berterima kasih. Kau pernah sekolah kan?”

Aku menggertakkan gigiku. Sialan betul jahanam brengsek ini.

“Apa aku masih kurang baik? Coba, mana bisa kau makan bebek peking, lobster, kepiting soka, abalone, lidah angsa dan cakar beruang kalau kau masih jadi waitress di Sanctuary. Sekarang kau malah kuberi salah satu kamar terbaik di rumah ini. Belum lagi aku harus terus memuaskan birahimu yang nggak habis-habis. Apa susahnya sih bilang terima kasih?”

Kurang ajar! Bisa-bisanya dia membalikkan fakta seenak kont*lnya!

“Kau ini memang baj… aaah… oooh…”

Makianku terinterupsi oleh eranganku karena tangannya kembali bekerja di tempat yang kuinginkan. Tapi hanya lima detik, setelahnya mogok lagi.

“Kau ini nggak tahu berterima kasih,” keluhnya sambil melumat leherku ala drakula lapar hingga aku tersedak.

Tangan kirinya meremas-remas tetekku dan tangan kanannya sekarang mengusap anusku sembari meremas pantatku. Aku tak tahan lagi dan berbisik serak,

“Terima kasih.”

“Hah? Ngomong yang jelas dong.”

“Terima kasih,” ujarku lagi lebih keras.

“Buat apa?”

Astaga, aku sendiri tidak tahu mengapa aku mau berterima kasih pada pemerkosa sekaligus penculik dan penyiksaku selama ini.

“Kenapa sih kau nggak membiarkanku mati saja?” gerutuku sambil menginjak kakinya dengan gemas.

“Auch! Kau ini keterlaluan,” bisiknya.

Bisikannya diikuti jilatan di telingaku yang membuatku panas dingin.

“Kenapa?” tanyaku lagi sembari menggesek-gesekkan kedua pahaku.

Aku sudah tak bisa lagi menunggu untuk mencapai puncak kenikmatan, tapi dia malah meregangkan kedua kakiku dan menyelipkan kakinya untuk mengganjal pahaku.

“Karena belum waktunya kau mati.”
Aku merinding lagi. Kali ini bukan karena terangsang melainkan ngeri. Tapi ketakutanku cepat sirna oleh usapan sambil lewat pada klentitku yang lapar.

“Ooohh… Terima kasih… karena sudah membiarkanku hidup!” teriakku frustasi.

“Aku lebih suka diberi ucapan terima kasih karena sudah menyelamatkan nyawamu.”

“Menyelamatkanku?? Apa kau sudah gila??” seruku jengkel.

“Hitung-hitung aku sudah tiga kali menyelamatkan nyawamu. Pertama, dari Dibyo. Kau pikir dia akan membiarkanmu hanya jadi simpanannya? Karena kau kasar, dia akan menjualmu pada orang yang kasar juga. Kalau kau dijual ke orang macam Bandi, apa kau masih bisa hidup sampai sekarang?”

Aku bergidik ngeri.

“Kedua, aku menyelamatkanmu dari eksperimen Bandi. Terlambat lima menit saja, mungkin kau sudah jadi mayat kelinci percobaan.”

Tubuhku langsung lemas hingga nyaris menggelosor kalau saja tidak dipegangi olehnya.

“Ketiga, semalam kau pasti mati tenggelam kalau nggak ditolong aku. Jadi pantas kan kalau kau berterima kasih? Aku nggak minta bayaran uang kok soalnya aku tahu kau nggak punya duit. Cuma sekalimat ucapan terima kasih yang diucapkan dengan tulus tanpa nada terpaksa. Nggak susah kan?”

Aku menghela napas panjang. Duh, kenapa aku bisa jatuh ke tangan orang semenyebalkan ini? Aku masih diam sementara dia menarik dan menyandarkan tubuhku ke jendela agar bisa berdiri dengan lebih tegap. Setelahnya ganti dia yang menghela napas panjang. Hembusan napasnya menyibakkan rambut-rambut halus di kudukku.

“Lara, Lara. Kau ini benar-benar keras kepala.”

Tumben dia menyebut namaku. Selama ini kami tidak pernah saling memanggil nama masing-masing. Hanya ‘Kau’ atau ‘Eh’. Kadang dia menyebutku ‘Bitch’. Sedangkan aku biasa memanggilnya ‘Bajingan’, ‘Keparat’, ‘Jahanam’, ‘Orang gila’ dan sejenisnya itu.

Mendadak dia mencolokkan dua jarinya ke liang vaginaku dan mulai mengocoknya.

“Aaah… aaah… Aa?”

Lolonganku terhenti seiring berhentinya kocokan tangannya.

“Terima kasih karena sudah menyelamatkan nyawaku.”

Suaraku gemetar karena menahan amarah dan ledakan libido yang tertunda-tunda.

“Good girl.”

“Ooooh… Iiiiyaaaah…. Aaaaah…. Oaaaaaahhh!!!!”

Aku kembali terkulai lemas sambil bergantung pada kain gorden, tapi dia malah menarik kedua tanganku dan memeganginya di atas kepalaku.

BZZZZ. Mendadak gorden di hadapanku terbuka lebar dengan sendirinya. Aku menoleh dan melihatnya melempar remote ke sofa. Rupanya gorden ini dibuka-tutup dengan remote seperti di kamar presidential suite di hotel-hotel bintang lima.

“Aaah! Tidaaak!! Jangaaaaan!!!”

Aku menjerit ngeri dan meronta sebisaku saat dia mendorongku ke jendela. Aku tidak ingin tubuhku yang telanjang menjadi tontonan seperti manekin di etalase toko-toko. Tapi tenagaku habis usai orgasme panjang. Padahal di bawah – kamar ini berada di lantai dua – ada dua tukang kebun yang sedang menyiangi rumput, satu tukang pembersih kolam renang yang sedang mengambili daun kering dari kolam dan lima pengawal yang sedang sarapan sambil bersenda gurau.

BRAK! BRAK! BRAK!

BL sengaja mendorong-dorong tubuhku ke kaca jendela hingga membuat bunyi berisik. Dia sengaja memancing perhatian anak buahnya dan usahanya berhasil. Semua menoleh ke atas dan melihat kami berdua. BL tertawa melihat cengiran di wajah anak buahnya. Tawanya terdengar makin puas setelah mendengar tawa dan applaus dari mereka. Dipepetnya tubuhku ke kaca hingga payudaraku tergencet. Aku terpaksa menoleh dan merelakan pipiku ikut tergencet daripada aku tak punya hidung lagi.

Tak ada yang bisa kulakukan selain diam pasrah. Kedua tanganku hanya bisa menahan di sisi kepalaku agar aku tidak makin gepeng. Tidak hanya mukaku yang merah, sekujur tubuhku pasti merah padam karena malu dan marah. Gilanya lagi, BL mulai menggerayangi tubuhku lagi.

“Nggak…aaaah… No… oooh….”

Aku menggeliat, mencoba mengelak dari sentuhan-sentuhannya, tapi dia malah makin bersemangat merangsangku. Klitorisku kembali diucek bersamaan dengan tusukan-tusukan jarinya ke liang vaginaku.

Clep. Clep. Clep.

“Becek banget. Kau ternyata suka ditonton,” bisiknya sambil menyelomot bibirku yang mencong.

Gocekan tangannya makin liar sampai-sampai aku menggelinjang bak ular kepanasan. Sesekali kulirik para penonton dari sisi kaca yang tak berembun terkena semburan napasku. Jumlah mereka bertambah karena mereka memanggil kawan-kawan mereka untuk ikut menonton. Sebagian dari mereka malah mulai membuka celana dan mengocok senjata masing-masing. Pemandangan itu membuat BL makin panas. Perasaan takut akan diserahkan BL pada serombongan anak buahnya bercampur dengan rasa nikmat menahan orgasme.

Tiba-tiba BL melepas kelaminku dan mengangkat kaki kananku.

HEK! Aaaaugh!!

tongkolnya menghunjam mem*kku dengan kuat, menyodok hingga menumbuk bibir rahimku. Dia terus merogolku dengan mantap dan cepat. Napasku tinggal satu-satu karena dadaku sesak tergencet antara kaca jendela dan tubuh liatnya. Belum lagi leherku yang hampir keplitek karena terus meleng.

“Oaaah!! Aaaaah!!”

Aku berteriak keras sambil memejamkan mata. Tak kupedulikan lagi payudaraku yang penyek dan pipiku yang pedas tergesek genjotan BL apalagi reaksi para pemirsa. Kudengar dengusan berat napasnya saat mem*kku meremas kont*lnya dengan sekuat tenaga. Aku sama sekali tidak protes waktu dia melepaskan kont*lnya dan membalikkan tubuhku. Kali ini punggung dan pantatku yang menempel lekat di kaca jendela. Diangkatnya kedua kakiku.

“Ugghhh!”

Kami berdua melenguh saat kont*lnya menembus mem*kku yang kuyup. Dipagutnya bibirku yang terbuka dengan lapar. Dadanya yang rata menekan dadaku yang kenyal. Kedua tanganku membelit lehernya dengan erat, takut kalau-kalau dia mendadak menjatuhkanku. Tapi tenaganya luar biasa padahal tubuhnya hanya setengah Ade Rai. Aku terus melenguh, mendesah dan mengerang tanpa bisa menggelinjang lepas karena terjepit. Dia menjilati wajah, telinga dan leherku, sesekali menggigitinya. Peluh sudah membasahi tubuh kami, membuat rambutku lepek menempel di leher. Cairan vagina juga mengalir membasahi pelirnya dan paha kami berdua.

“Aaaaaaah…”

Aku mendesah panjang saat mencapai puncak untuk ketiga kalinya. Kedua kakiku mengejang, menapak udara kosong dan kepalaku tengadah dengan mata terpejam. Aku lelah setengah mati. Rasanya ingin terlelap, tapi dia terus menggenjotku. Akhirnya dia menekan pantatnya dalam-dalam dan melenguh keras.

CROT.CROT.CROT.CROT.CROT.

Tembakan-tembakan spermanya yang hangat membangunkanku dari kondisi setengah sadar. Kubuka mataku dan kulihat dia sedang menatap mataku sambil terengah-engah. Dilumatnya bibirku dengan gemas sembari menurunkan kakiku satu persatu. Aku menggelinjang geli saat senjatanya yang menciut terlepas dengan sendirinya.

“Kenapa kau nggak pakai kondom lagi?” tanyaku tersengal.

“Bukannya kau benci kalau aku pakai kondom?”

Sejak kapan dia peduli pada pendapatku?

“Itu kan kalau kau pakai kondom yang aneh-aneh. Bagaimana kalau nanti aku…”

Aku terdiam. Aku tidak ingin hamil darinya, tapi aku takut bila kukatakan nanti dia malah sengaja menghamiliku.

“Kapan masa suburmu?”

“Aku nggak tahu,” jawabku polos.

“Bohong! Bagaimana bisa kau nggak tahu?”

“Periode menstruasiku kacau. Kadang bisa dua-tiga bulan aku nggak mens.”

BL terdiam sejenak.

“Ya sudah. Nanti kuberi kau pil KB.”

Aku mengangguk. Ternyata juragan pabrik kondom malas memakai kondom juga. Tiba-tiba aku tertawa. Lucu sekali. Tadi adalah percakapan normal pertama kami tanpa saling maki, saling tampar dan saling piting.

“Apa yang lucu?” tanya BL sambil menyipitkan matanya.

“Mau tahu saja,” cibirku.

Dia mendengus.

“Kau malu mengaku kalau kau mulai betah tinggal di sini?”

“Betah??” teriakku mendelik. “Amit-amit!”

“Jangan jual mahal. Buktinya kau nggak pernah minta aku membebaskanmu. Kau memang selalu memaki, meludahiku dan mengajakku berkelahi, tapi sebenarnya kau senang kan?”

Aku tercenung. Astaga! Aku ini goblok sekali! Mengapa tak pernah terpikirkan olehku untuk memintanya membebaskanku? Tapi bagaimana denganmisiku? Misi membalas dendam kematian papa yang terus tertunda? Kapan aku akan membunuh jahanam brengsek ini? Lihat, sekarang dia ganti mencibirku dan membalik badan, bersiap berlalu dariku.

“Hey, tunggu! Apa kau mau membebaskanku?”

Aku benci sekali dengan tatapan mengejek bajingan sialan itu.

“Menurutmu bagaimana?” tanyanya sengak.

Belum sempat aku menyahut, dia kembali melanjutkan,

“Kau pikir aku akan membebaskan orang yang berhutang banyak padaku? Bagaimana cara kau membayar seluruh hutang nyawa dan ongkos hidupmu selama ini?”

“Kau pikir memerkosaku pagi-siang-malam itu bukan bayaran atas semuanya?”

“Lho, jadi kau menyamakan dirimu sendiri sebagai pelacur?”

“Enak saja! Kau yang membuatku seperti ini!” bentakku sambil menudingnya.

Sekujur tubuhku bergetar menahan marah. Suaraku juga bergetar dan mataku mulai berair. Aku benci setengah mati dengan kondisiku sekarang dan bisa-bisanya dia malah menyalahkan dan menghinaku.

“Sudah. Sudah. Kau kan nggak perlu nangis,” ejeknya sambil menepuk-nepuk pipiku.

Kucoba menamparnya, tapi tanganku ditangkapnya. Ditariknya tubuhku mendekat dan didekapnya dengan erat. Dijilatnya wajahku dengan sekali sapuan. Kali ini aku tidak meludahinya lagi karena aku tidak mau menerima pembalasannya, semburan air maninya di wajahku. Cukup sudah penghinaan yang kuterima darinya pagi ini.

“Kau mau bilang apa? Aku benci kau?”

“Basi, tahu! Buat apa mengatakan sesuatu yang sudah kau tahu!” bantahku kesal. “Aku lebih senang bilang supaya kau cepat mati saja.”

BL tersenyum.

“Sayangnya nggak gampang membunuhku.”

Lalu dia melumat bibirku, lama sekali. Tak dipedulikannya pukulan dan cakaranku di dada, punggung dan wajahnya.

“Lepas…lepaskan aku!”

Akhirnya BL melepaskan bibirku.

“Bagaimana cara kau membayar hutang?”

Aku terdiam dengan jengkel karena aku tidak tahu harus menjawab apa.

“Apa kau tahu berapa jumlah hutangmu?”

“Lima juta.”

BL tertawa.

“Sepuluh kali lipatnya, neng.”

“Mana bisa begitu! Kau dulu membeliku dari babi tua sialan itu seharga lima juta.”

“Bukannya kau nggak mau dihargai semurah itu? Lima puluh juta juga masih kemurahan kan? Jujur saja, kau ingin bilang harga dirimu beratus-ratus kali lipat dari lima juta. Betul kan?”

Dia memang betul, tapi…

“Tapi kau nggak bisa memerasku begitu!”

BL menyeringai.

“Mana bisa aku jadi orang kaya kalau nggak ambil untung. Coba, ongkos hidupmu itu mahal. Jangan samakan ongkos ngekos di rumah segede ini dengan rumah kosmu yang mirip kandang ayam itu. Belum lagi kau hidup enak di sini. Nggak kerja, tapi bisa makan makanan restoran kelas satu. Hampir tiap malam orgasme lagi. Kalau kau bayar gigolo untuk melayanimu pagi-siang-malam harus keluar uang berapa hah?”

Kekesalanku memuncak hingga ke ubun-ubun. Tanpa pikir panjang kuserang dia hingga terjatuh. Kami berdua berguling-gulingan di lantai. Bergulat tanpa belas kasihan. Beberapa kali kujenggut rambutnya dan kubenturkan kepalanya ke lantai. Begitu pula dirinya. Sikuku linu, dengkulku ngilu. Tapi sekuat-kuatnya diriku, tetap saja kalah darinya. Kurasa orang-orang gila itu memiliki kekuatan lebih dari manusia normal lainnya.

BL tertawa puas setelah berhasil menindihku. Aku mengutuki diriku sendiri. Aku ini memang goblok, luar biasa goblok karena dengan mudah terpancing siasat liciknya. Mengapa aku tak ingat kalau perkelahian adalah foreplay yang paling disukainya. Sekarang kont*lnya sudah mengeras dan menempel di bibir mem*kku.

“Kuberi kau kesempatan menawar,” ujarnya sembari menyodok mem*kku dengan kuat.

“Aaaaargh! Li… ma… ju…ta…”

Kata-kataku terputus seiring genjotannya.

“Kau ini curang atau pura-pura bodoh sih?”

“Aaaw!” jeritku mengaduh saat pentilku dipelintir dengan keras. “Se…pu…luh…ju…ta…”

“Empat… puluh… sembi…lan…juta…”

“Cu…rang…”

Begitulah kami terus tawar-menawar dengan dibumbui makian dan ejekan. Tapi lama-lama aku tak mampu lagi menawar. Aku hanya bisa berteriak-teriak keenakan sementara dia terus mengejekku. Sudah dua kali aku orgasme, tapi dia belum juga ejakulasi. Tubuhku rasanya remuk dan tenagaku habis. Aku hanya bisa pasrah dipompa tanpa melawan. Mendadak dia berhenti bergerak. Ditegakkannya tubuhnya hingga membentuk sudut sembilan puluh derajat dariku.

“Iiiiyaaah! Ooooaaah!!”

Aku kembali berteriak dan menggelinjang saat jari-jarinya meraba dan menggaruk klentitku sementara kont*lnya terus keluar-masuk vaginaku.

“Hhhgghhaaaaaaaah!!!”

Kami berdua menggeram keras saat akhirnya mencapai orgasme bersama-sama. Setelah membuat vaginaku yang becek makin becek, tubuh BL ambruk menimpaku. Sebelum tak sadarkan diri aku masih merasakan asinnya keringat yang menetes dari rambutnya dan mendengar napas kami yang memburu bersahutan.

Entah berapa lama aku tertidur, begitu bangun aku sudah kembali berbaring di atas ranjang selembut awan itu. Aheng duduk menungguiku di kursi di samping ranjang. Di atas nakas, sudah tersedia senampan makanan entah sarapan atau makan siang. Yang jelas perutku luar biasa lapar. Tanpa disuruh, aku langsung menyikat makanan yang tersaji hingga licin tandas.

Setelahnya Aheng memintaku ikut dengannya. Dia membuka pintu di samping pintu kamar mandi. Sesuai dugaanku, ruangan di balik pintu ini berisi lemari-lemari pakaian, sepatu dan tas. Semuanya untuk perempuan. Ada yang model lama, tapi banyak juga yang model terbaru.

“Semua ini punya siapa?” tanyaku sambil menyibak-nyibak lemari baju.

“Semua yang ada di rumah ini punya bos. Non boleh pakai yang mana saja.”

Bukannya senang, aku malah sebal. Jahanam sialan itu sengaja ingin membuat hutangku makin berlipat.

“Bos juga titip ini untuk Non.”

Aku melongo melihat kartu kredit platinum atas nama Lara Tan. Seingatku, aku tidak pernah menandatangani formulir aplikasi kartu kredit manapun dengan nama itu. Lagipula KTP-ku masih tertinggal di Sanctuary.

“Malam ini bos mau mengajak Non keluar. Jadi pilih gaun yang bagus. Soal dandan Non nggak usah khawatir. Ada Joy.”

Aku mendengus tak peduli. Aku tidak ingin tahu siapa Joy itu. Siang hingga sore aku menghabiskan waktu denga menonton tv. Aku ketinggalan begitu banyak berita. Aku baru tahu kalau BL sedang diselidiki kejaksaan karena diduga menyuap hakim yang menangani kasus penyuapan dalam tender proyek jalan tol di Surabaya. Aku heran juga mengapa BL tidak menyensor acara tv yang kutonton.

“Eh, apa-apaan ini?”

Mendadak Aheng masuk dan menyeretku turun dari ranjang. Dia tidak sendirian melainkan bersama seorang lelaki gemulai berbulu mata lentik, pasti ini yang bernama Joy. Aku dimandikan paksa oleh keduanya, lalu didandani oleh Joy. Aku meronta, tapi Aheng memegangiku dengan kuat. Sedangkan Joy tak bisa dibilang lemah meski gemulai, tenaganya mantap. Mulutnya juga kuat mengoceh.

“Paha dan pantatmu banyak selulit, pasti dulunya kau gemuk. Buktinya lenganmu lumayan gede dan nggak kencang. Model rambutmu jelek banget. Nggak pantas sama mukamu yang bulat. Kayaknya bos nggak keberatan kalau hidungmu dioperasi biar jadi mancung. Dagumu juga perlu ditambal silikon biar mukamu nggak bulat-bulat amat. Untungnya betismu bagus, langsing. Bentuk bibirmu juga seksi.”

Paling nggak dia masih memujiku sehingga kubatalkan niat untuk menghajar bibirnya yang jontor karena disuntik silikon.

“Belum beres juga?”

Aku makin cemberut mendengar suara BL.

“Gimana bos? Cakep kan?” tanya Joy manja.

“Ya lumayanlah. Jauh lebih mending dari biasanya,” tukas BL sebelum mengeloyor keluar.

Benar-benar menjengkelkan! Apalagi Aheng tiba-tiba membopongku. Dia tahu aku tak ingin berjalan sukarela mengikuti BL jadi harus dipaksa begini.

“Aku mau dibawa ke mana?” bentakku setelah dimasukkan dengan paksa ke dalam mobil Jaguar.

BL yang duduk di sebelahku sama sekali tak mengacuhkanku. Jadi kami duduk berjauhan sambil memandangi keluar jendela. Aku tertegun saat mobil tiba di depan gedung megah berpintu gagah yang dijaga dua patung unicorn. Sanctuary! Apa maksudnya ini?

Aku turun mengikuti BL karena tak ingin masuk dibopong Aheng. Aku diam saja sambil bertanya-tanya apa Pak Dibyo masih bisa mengenaliku. Aku terkesiap ketika baru menyadari Bandi ikut dalam iring-iringan kami. Seperti dulu, dia membawa dua ayam cantik yang masih belia. Namun mata Bandi terus tertuju kepadaku. Sesekali dia menjilati bibirnya sambil memandangiku dengan lapar. Aku jadi merinding ketakutan dan tanpa sadar menempel pada Aheng.

Déjà vu. Ya tidak persis begitu sih. Kalau dulu aku hanya menonton rombongan BL datang lalu terpaksa terlibat, sekarang sejak awal aku menjadi bagian dari mereka. Pak Dibyo mengenaliku dan terpana hingga ternganga-nganga. Apa penampilanku berubah begitu drastis?

Tak seperti dulu, BL langsung berjalan menuju meja bilyar di tengah ruangan. Aku didorong-dorong Aheng supaya mengikuti bosnya. Hasilnya aku menumbuk punggung BL dengan sukses. Jas kremnya terkena lipstick-ku. Aku masih terhuyung saat dia membalik badan dan menangkap tanganku.

“Aaaaah!”

Aku menjerit tertahan setelah tubuhku dilempar ke atas meja bilyar yang kosong. Kepalaku terbentur meja hingga mataku berkunang-kunang. Aku hanya sempat berteriak-teriak ‘Jangan! Tolong!’ saat dia menyibak gaun babydoll warna hijau pupus dan memelorotkan celana dalam yang kupakai. Tapi seperti dulu, tak ada yang berani ikut campur. Semuanya memilih menonton sembari kasak-kusuk.

Aku mencoba bangun namun yang kulihat membuatku terpaku. BL sedang nungging di depan selangkanganku. Wajahnya terbenam di antara kedua belah pahaku.

“Ngghh… Ooooh….Aaaaah…”

Yang kurasakan membuatku kembali berbaring. Baru kali ini aku dioral. Rasanya jauh lebih enak daripada masturbasi. Dia menjilati klentitku dan jarinya mengobok-obok G-spotku membuatku lupa kalau ini tempat umum. Aku mendesah, mengerang dan berteriak keras sembari terus menggelinjang. Bahkan aku ikut merangsang diriku sendiri dengan meremas-remas buah dadaku sendiri dari balik gaun. Kemudian saat jilatan lidaih dan tusukan jari-jari BL makin menggila, kugapai-gapai pinggir meja untuk mencari pegangaan. Tapi yang kudapat rambut BL.

“Iiiiiih…. Ooooh…. Ooooaaah… Aaaaah… Aaaaaaaaaaaaaaah!!!”

Kujambak rambutnya sembari berteriak dan melengkungkan punggungku ke atas. Kakiku bergetar keras dan menapak-napak liar ke atas. Tapi lidah BL masih terus bekerja sampai-sampai aku menggeliat-geliat lemah tanpa henti. Air mata mengalir di pipiku. Ketika akhirnya dia berhenti, aku langsung terkulai tanpa daya.

Senyum puas menghiasi wajah angkuh musuhku. Aku tak berdaya melawan saat dia merengkuh kepalaku dan mengulum bibir dan lidahku. Untuk pertama kalinya aku merasakan cairan vaginaku sendiri. Gurih. BL memeluk dan menarik tubuhku hingga terduduk. Kupandangi cairan vaginaku yang menetes ke atas meja.

“Happy birthday.”

Aku tertegun dan menatap BL dengan kosong.

“Apa kau lupa dengan hari ulang-tahunmu sendiri?” tanya BL geli.

Para penonton ikut tertawa malah ada yang bertepuk tangan. Lagu happy birthday mengalun mengiringi kue ulang tahun yang keluar.

Aku masih tertegun. Rasanya ingin tertawa, tapi tak bisa. Keinginan untuk menangis malah jauh lebih besar hingga hampir meluap dari hatiku. Bodoh sekali semua orang itu. Hari ini bukan hari ulang-tahunku. Tanggal lahir Lara Tan hanyalah karanganku. Hari ulang-tahunku sendiri masih enam bulan lagi. Tapi apa aku masih bisa merayakan hari ulang-tahunku?

“Jangan takut. Hadiah dariku nggak perlu kau ganti. Aku tulus kok.”

Aneh, sepasang mata dingin itu menatapku dengan lembut. Aku bergidik. Ini gila!

Lebih gila lagi saat BL menelanjangiku. Aku berusaha melawan, tapi sia-sia. Gaun babydoll yang indah itu malah robek. BL sendiri juga membuka jas dan kemejanya. Dipelorotkan celana dan celana panjangnya lalu dilemparkan ke arah Aheng. Dengan bangga dia memamerkan tubuh liatnya yang memar di mana-mana, hasil perkelahian kami pagi tadi. Dia mendorong tubuhku hingga terlentang di tengah-tengah meja dan mulai menggarapku di sana. Penonton mengerumuni dan menyoraki kami. Beberapa dari mereka mulai mabuk dan ingin menyentuhku. Ada juga yang menyodorkan kont*lnya ke mulutku untuk dioral atau ke tanganku untuk dikocok. Tapi BL mengusir mereka dengan bentakan keras dan Aheng beserta para pengawal menggiring mereka menjauh. Termasuk Bandi yang tangannya mendadak menyelonong membelai pipiku.

Dan tiba-tiba saja muncul pasangan-pasangan lain yang bercinta di tengah keramaian ini. Desahan, erangan dan teriakan erotis terdengar di mana-mana. Gila. Semuanya gila.
Aku sendiri mulai larut dalam gelora birahi yang terus memuncak. Aku mengimbangi permainan BL dengan menggoyang pantat dan pinggulku tanpa henti.

Usai orgasmeku yang pertama, BL membawaku pindah ke sofa. Di sana kami melanjutkan permainan dengan berbagai gaya. Aku baru sadar ada seseorang yang tidak ikut menyoraki kami dengan gembira. Bukan, bukan Pak Dibyo. Babi tua itu tertawa gembira meski aku bisa melihat tawanya hanya pura-pura. Dia pasti ngiri setengah mati apalagi tidak ada seorang anak buahnya yang berdiri di dekatnya. Semuanya kabur menjauh karena tak ingin dimangsa kont*l bunteknya yang bau.

Di sofa seberang, Bandi terus merengut sambil memandangiku. Tak ada rona puas di wajahnya meski sedang dioral dua ayam cantik yang dibawanya.

“Kau milikku,” bisik BL usai ejakulasi.

Pada saat yang sama, Bandi juga membisikkan kata-kata yang sama dari jauh.


1 komentar: