Minggu, 21 Maret 2010

Sekretarisku berani bentak-bentak aku
Suatu hari di kantor, penampilan Sylvia, sekretarisku, agak berbeda dari biasanya. Dengan blazer dan rok mini yang serba merah, sangat kontras dengan kulitnya yang putih mulus. Belum lagi lipsticknya yang merah senada di bibirnya yang mungil serta rambutnya yang ikal terurai, membuat wajahnya yang judes menggemaskan itu makin nampak sensual. ?
Kan hari ini ulang tahunku, jadi boleh dong tampil beda,? jawabnya waktu kupuji. ?Kalau gitu pulang kantor nanti kita langsung makan-makan ya,? kataku lagi. Sylvia cuma mengangguk dibarengi dengan senyum manisnya.

Pulang kantor, kami langsung menuju ke resto di sebuah hotel bintang
lima. Sambil makan, seperti biasa kami ngobrol dan bercanda. Memang hubunganku dengannya bukan hanya dalam kerja saja, tapi juga dalam hubungan pribadi. Sering dia aku ajak jalan, entah nonton atau sekedar ke cafe. Dari cerita-ceritanya, aku jadi tahu juga bahwa dia belum lama putus dengan cowoknya yang orang Amerika. Bahkan lebih jauh lagi, dia mengaku sering melakukan ML selama pacaran dan sudah mencoba berbagai
gaya. Dan menurutnya yang paling membuat dia puas adalah bila dia bisa mendominasi pacarnya dengan
gaya apapun. Entah kenapa dia begitu terbuka padaku.

Selesai makan, aku sengaja membuatnya surprise dengan memberinya hadiah menginap di hotel tersebut. Kebetulan hari itu hari Jum?at sehingga dia tidak usah memikirkan kerja esok harinya. ?Makasih ya..? bisiknya di telingaku sambil mengecup pipiku. Aku kemudian mengantarnya sampai ke kamar di atas dan melanjutkan ngobrol sambil minum wine.
?Syl, kamu minta apa lagi nih sebelum aku pulang?? tanyaku.
?Aku minta dua hal aja. Pertama, Bapak nggak usah pulang, dan yang kedua, Sylvi pengen gantian jadi boss malem ini aja,
kan Bapak biasa merintah, sekarang aku yang merintah Bapak ya,? katanya agak manja.
Kaget juga aku mendengar permintaannya, dan baru kuingat cerita dia yang suka mendominasi pacarnya tadi. Karena sayangku padanya sembari penasaran juga, langsung kuiyakan.
?Oke, kupenuhi permintaanmu bossku yang cantik, sekarang aku siap melakukan apa saja perintahmu, dan jangan panggil aku Bapak lagi ya,? candaku lagi.

Bagai bermain sandiwara, dengan tetap duduk dan menyulut rokok, Sylvi mulai memerankan dirinya sebagai bossku, dan dengan wajahnya yang memang judes itu pantas sekali dengan perannya.
?Oke Jo, buktikan kata-katamu, sekarang aku mau kamu buka seluruh pakaianmu sambil berdiri..!? perintahnya langsung yang membuatku kaget setengah mati.
?Buka semuanya Syl?? kataku lagi tak percaya.
?Iya..! kenapa? nggak mau??
?Iy.. iya deh..? jawabku terbata-bata sambil berdiri dan pelan-pelan mulai membuka satu persatu pakaianku mirip penari striptease.
Bersamaan dengan lepasnya pakaian terakhirku alias CD-ku, kulihat Sylvia menatap batang kemaluanku yang masih belum bangkit sambil mengepulkan asap rokoknya. Karena risih, kusilangkan kedua tanganku menutupinya. Namun tiba-tiba Sylvia beranjak dari tempat duduknya lalu mengambil ikat pinggang di celanaku. Tangannya kemudian menarik paksa kedua tanganku ke belakang dan diikatnya dengan ikat pinggangku. ?Nah, begini lebih bagus khan?? katanya lagi sambil duduk kembali di sofa. Kali ini dia menyilangkan kakinya yang ramping itu agak tinggi sehingga rok mini merahnya makin naik ke atas. Kontan kelakianku mulai bangkit perlahan-lahan melihat pemandangan indah pahanya yang putih mulus serta padat berisi itu. Dan memang ini yang diharapkannya.

?Ayo, tunjukkan seberapa besar punyamu,? katanya lagi yang dilanjutkan dengan diluruskannya kakinya ke depan hingga ujung sepatunya yang runcing menempel di batang kemaluanku. Dengan posisiku yang masih berdiri dengan tangan terikat, makin tak karuan perasaanku. Gesekan-gesekan ujung sepatunya di kemaluanku membangkitkan sensasi tersendiri dan malah justru membuatku ingin terus mengikuti permainannya. Sesekali diputar-putarnya sepatunya mengelilingi batang kemaluaku yang makin mengeras sambil terkadang mempertontonkan keindahan pahanya dengan membuka sedikit kaki satunya. Tiba-tiba, Sylvia menghentikan kegiatannya dan menarik kakinya kembali. ?Keenakan kamu ya Jo.. sekarang berlutut!? perintahnya yang mengagetkanku, namun kuturuti saja kemudian kemauannya. ?Kamu harus berterima kasih sama ini sepatu yang membuatmu keenakan,? tambahnya lagi sambil melepas sepatu berhak tingginya dan menyodorkannya ke mukaku. ?Tunjukkan terima kasihmu dengan cium ini sepatu!? Belum lagi aku sempat teratur bernafas, lubang sepatunya sudah menutupi hidung dan mulutku sehingga aku menghirup langsung aroma khas di dalamnya yang makin membangkitkan nafsuku. Tangannya terus menekan sepatunya ke mukaku dan tak membiarkan aku menghirup udara segar, sementara aku tak berdaya dengan posisi berlutut dan tangan terikat. ?Enak
kan Jo..? kamu pasti lebih suka lagi sama isinya deh..? katanya sambil menarik sepatunya dari mukaku.

Dengan cepat diangkatnya kaki kanannya lurus ke depan hingga kakinya hanya beberapa centi saja di depan mukaku. Kutatap sejenak kakinya yang indah dan bersih itu. Jari-jarinya mungil dan putih, kontras sekali dengan cutex-nya yang merah menyala.
?Tunggu apa lagi..? ayo cium kakiku!?
?Baik.. baik boss,? jawabku sambil perlahan menundukkan kepalaku menghampiri kakinya.
Mulai kudaratkan bibirku di punggung kakinya dan kugeser pelan dari atas ke bawah sambil merasakan kehalusan kulitnya. Dari situ kugeser lagi bibirku ke samping kakinya hingga ke mata kaki yang membuatnya menggelinjang kegelian. Sylvi nampak sangat menikmatinya sambil terus mengepulkan asap rokoknya. Dinaikkannya sedikit kakinya agar aku bisa menciumi telapak kakinya yang berlekuk indah itu. Sylvi makin kegelian dan mulai merintih pelan waktu kucium sepanjang telapak kakinya yang beraroma khas, namun justru makin membangkitkan nafsuku.

?Ayo, keluarin lidahmu, jilatin cepet!? perintahnya lagi yang langsung kukerjakan dengan penuh nafsu. Dari jilatan panjang telapak kakinya, kuakhiri di bawah jari-jari kakinya yang membuat Sylvi menggeliat dan menarik kakinya mundur. ?Buka mulutmu!? perintahnya. Belum lagi mulutku terbuka semua, ujung kakinya didorongnya masuk sehingga jari-jari kakinya yang mungil berada di mulutku sampai aku gelagepan. Tanpa menunggu perintahnya, kumainkan lidahku disela-sela jarinya sambil sesekali menghisapnya. Kulihat kepala Sylvi menengadah ke atas, tanda menahan geli yang sangat. ?Isep satu persatu jariku!? demikian pintanya. Sambil kuhisap satu demi satu, diam-diam Sylvi membuka sepatu kaki kirinya dan langsung mengarahkannya ke hidungku yang bebas, lalu menjepitkan jari-jarinya di situ. Kini lengkap sudah kedua kakinya yang mungil itu terlayani sekaligus. Satu di mulutku dan satunya di hidungku. Sementara itu, aku makin bisa menikmati permainan yang penuh sensasi ini, bahkan makin penasaran menunggu perintah selanjutnya.
Kegiatan tadi cukup membuatnya berkeringat, walaupun AC di kamar cukup dingin. Sylvi sekonyong-konyong menghentikan permainannya dan berdiri meninggalkanku yang masih dalam posisi berlutut. Dari kejauhan kulihat dia mulai melepas blazer dan bajunya sekaligus, sementara BH dan rok mininya masih dibiarkan menempel. ?Jo, coba kemari!? teriaknya dari depan lemari kamar. Aku kemudian menghampirinya dan berdiri di belakangnya. ?Lihat badanku berkeringat nih.. ayo jilatin!? perintah Sylvy makin menggila dan membuatku kaget. Namun aku yang tak berdaya dengan tangan masih terikat ini cuma bisa memenuhi permintaannya saja. Dari posisiku berdiri, kembali batang kemaluanku berdenyut-denyut memandang kemulusan kulit tubuhnya bagian atas yang putih bersih serta mengkilap karena keringatnya. Dan waktu kutempelkan bibirku di bahunya, ?Aaah..? tercium aroma tubuhnya yang sangat merangsang gairahku. Campuran antara parfum dan keringatnya ini membuatku tak langsung menjilatinya, namun kugunakan hidung dan bibirku terlebih dahulu untuk menghirup sepuas-puasnya keharuman tubuhnya. Sylvipun tak menolak, bahkan menggeliatkan tubuhnya waktu ciumanku berpindah dari bahunya ke sepanjang lehernya yang putih mulus. Tak kulewatkan gigitan-gigitan kecil di telinganya sebelum Sylvi menyibakkan rambutnya dengan tangan kirinya memintaku turun ke tengkuknya yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu.
Dari situ, lidahku mulai menari-nari dengan turus turun menyusuri punggungnya yang mengkilap hingga ke atas rok mininya yang masih menempel kencang. Wajahku lalu kugerakkan ke arah pinggangnya yang ramping, dan waktu Sylvi menggeliat dengan kedua tangan ke atas, wajahku kugeserkan ke atas menuju ketiaknya yang terbuka lebar. Sylvi makin menggelinjang waktu bibir dan hidungku berputar-putar di ketiaknya yang putih bersih tanpa bulu itu, sampai-sampai lengannya dirapatkan kembali hingga kepalaku terhimpit di situ. ?Mulai nakal ya kamu,? desah Sylvi sambil menahan geli. Tak banyak yang bisa kulakukan kecuali menghirup aromanya yang penuh sensualitas itu.
Entah apa lagi yang akan dilakukannya. Silvy melepaskan kepalaku tiba-tiba lalu berbalik dan menyuruhku kembali berlutut. Dengan gerakan refleks, tangannya masuk ke dalam rok mininya dan menarik celana dalamnya ke bawah. Begitu lepas, Sylvi langsung merenggangkan kakinya dan mengangkat sedikit demi sedikit rok mininya dengan kedua tangannya, hingga muncul pemandangan indah tepat di depan wajahku. Bagian bawah kemaluannya nampak mengintip di balik rok mininya yang tersingkap. Batang kemaluanku makin keras memandangnya, apalagi dibarengi dengan liukan-liukan erotis pinggulnya yang menggodaku.
?Kamu pasti mau merasakannya
kan?? goda Silvy.
?Ayo, tunggu apa lagi? lumat sepuasnya!? katanya keras sambil menjambak rambutku dan menariknya ke dalam rok mininya.
Wajahku jadi terbenam di selangkangannya dengan posisi terus berlutut dan kedua tanganku yang masih terikat ke belakang. Mulailah bibir dan lidahku menjalankan tugasnya dengan melumat liang kemaluannya yang ternyata sudah basah sedari tadi. Aroma khasnya di situ makin membangkitkan nafsuku untuk memainkan lidahku dengan liar. dan membuat liukan-liukan Sylvi menjadi makin tak karuan menahan nikmat yang tiada
tara. Kadang-kadang kakinya bergetar waktu bibirku menemukan clitorisnya dan mengemutnya lembut.

Merasa tak tahan lagi, Sylvi malah menaikkan kaki kirinya ke atas meja koper di sampingnya, sehingga praktis rok mininya tak menutupi apa-apa lagi. Liang kemaluannya makin terbuka lebar yang membuat lidahku makin leluasa menjilat dan mengemut segala sudutnya. Tangannya makin keras menjambak rambutku ikut mengatur gerakan-gerakan kepalaku di selangkangannya, sampai akhirnya dengan sekuat tenaga ditekannya dalam-dalam wajahku dibarengi dengan hentakan-hentakan pinggulnya yang hebat. ?Aghh.. agghh,? teriaknya lepas menandakan telah tercapainya puncak kenikmatan di dirinya. Kedua pahanya menghimpit keras kepalaku beberapa saat lamanya. Sementara itu wajahku pun tak bisa banyak bergerak dan hanya bisa menikmati hangatnya cairan yang membanjir dari liang kewanitaannya.
Pelan-pelan himpitannya pahanya mengendur, lalu dia menyuruhku duduk di kursi tegak di depan meja rias. Sylvi tetap tak membuka ikatan tanganku, bahkan memindahkannya ke belakang kursi, sehingga posisiku mirip orang tahanan yang sedang diinterogasi. Bedanya aku dalam keadaan bugil total dengan batang kemaluanku yang berdiri tegak dan sulit turun, apalagi melihat di kaca rias, Sylvi mulai memerosotkan rok mini merahnya di sebelahku. Beberapa detik kemudian Sylvi membuat kejutan lagi dengan segera duduk di meja rias depanku dengan posisi kaki mengangkang dan tangan menumpu ke belakang. Sengaja rupanya dia berbuat begitu agar aku makin tersiksa memandang segarnya kemaluan wanita muda ini serta keindahan tubuhnya tanpa bisa berbuat apa-apa, walaupun masih tersisa BH mini hitamnya yang membuat buah dadanya menyembul bak hendak keluar.
Masih dengan liukan-liukan erotisnya dengan wajahnya yang dingin penuh sensualitas menatapku, pelan-pelan kedua kakinya diturunkan sambil memajukan tubuhnya hingga kakinya terkangkang menghimpit pinggir kursi yang kududuki. Ingin rasanya segera kutusukkan batang kemaluanku yang tepat berada di bawah kemaluannya, namun Sylvi punya sensasi lain. Mataku yang kini tepat di depan buah dadanya harus memandang gerakan tangannya yang perlahan ke belakang, membuka kaitan BH-nya dan melemparnya jauh. Kedua tangannya lalu dilepaskannya ke samping sambil lebih menegakkan badannya membiarkan mataku tak berkedip memandang kedua bukitnya yang tak begitu besar namun bulat padat dan mancung ke depan. Putingnya yang nampak menegang berwarna merah muda itu sangat kontras sekali dengan warna kulitnya yang putih mulus.
Sylvi membuatku makin panas-dingin dengan gerakan tangannya kemudian yang memelintir-melintir sendiri putingnya sambil meliuk-liuk.
?Kamu pasti mau ini!? kata Sylvi menggodaku.
?Iya boss.. aku mau.. please,? pintaku menyambung.
?Ayo jilat!? perintahnya sambil tiba-tiba menyodorkan buah dadanya ke depan.
?Slurp.. slurp..? lidahku menjilat-jilat putingnya dengan ganasnya bak makan ice cream.
Bersamaan dengan itu Silvy menurunkan tubuh mungilnya sehingga batang kemaluanku yang makin tegak mengeras terbenam ke dalam lubang kemaluannya. ?Aaakh..?, desah kami hampir bersamaan merasakan nikmat yang penuh sensasi ini. Tubuhnya bergoyang hebat seirama dengan membabi butanya bibir dan mulutku menjelajah kedua bukitnya yang berguncang-guncang bebas. Keringatnya yang deras di situ makin melicinkan jalannya bibirku berpindah-pindah di kedua bukitnya.

?Ayo gigit.. isep sepuasmu!? perintahnya lagi sambil meluruskan kedua tangannya berpegangan pada ujung atas kursiku. Gerakan pinggulnya yang kadang berputar kadang naik-turun membuat batang kemaluanku bagai dikocok dan terasa semakin licin menembus lubang kemaluannya dari bawah. Ketika goyangannya makin cepat, kembali mendadak Sylvi menghentikan gerakannya dan mengangkat tubuhnya buru-buru. ?Aku mau ganti posisi,? katanya cepat sambil membuka ikatan tanganku, lalu naik ke tempat tidur dengan posisi merangkak. Pantatnya yang putih mulus menungging di hadapanku membuatku berinisiatif menciumi bongkahan pantatnya bersamaan dengan kubukanya kedua pahanya lebih lebar dengan tanganku yang sudah bebas. Sylvi tak tahan, apalagi waktu kujilat panjang berulang-ulang di sepanjang belahan pantatnya. ?Cepaat masukkan,? teriaknya menahan geli. Segera kuhujamkan batang kemaluanku ke lubang kemaluannya dari belakang. Sylvi meronta-ronta kenikmatan waktu gerakan memompaku makin cepat, apalagi dibarengi kedua tanganku yang begerilya meremas-remas buah dadanya di depan.
Kembali Sylvi tak tahan, dan dia menginginkan permainan ini diakhiri dengan posisi berhadapan. Tubuhnya membalik dengan cepat dan menjepitkan kedua kakinya di pinggangku. Dengan cepat kupompakan batang kemaluanku yang disambut kembali dengan goyangan pinggulnya yang seksi. Sylvi lalu melepaskan jepitan kakinya dan menaruh ujung kakinya di kedua bahuku.
?Gunakan mulutmu.. ciumi apa yang ada,? perintahnya sambil tersengal-sengal.
?Baik boss,? jawabku lagi sambil meraih kedua kakinya yang indah itu ke wajahku dan kujilat-kujilat dengan lahap telapak kakinya.
Goyangan pinggulnya menjadi semakin menggila mengikuti kegelian di kakinya. Sementara posisi batang kemaluanku yang masuk tegak lurus ke liang kemaluannya membuatnya makin mendekati klimaks. Benar saja, Sylvi melebarkan pahanya tiba-tiba dan menarik tubuhku ke arahnya.
?Lebih cepat.. ayo!? perintahnya yang segera kuikuti dengan hujaman batang kemaluanku yang makin dalam dan cepat dibarengi dengan mulutku yang kini mendarat di buah dadanya kembali.
?Ahh.. ahh.. agghh..? teriak Sylvi bersamaan dengan tubuhnya yang melengkung ke atas menandakan kenikmatan tiada
tara.

Sylvi yang mengetahui aku belum mencapai klimaks langsung meraih batang kemaluanku dan mengocoknya cepat. ?Aku mau kau keluarkan di mulutku.. cepat!? kata Silvy sambil membuka bibirnya yang sensual itu tepat di depan batang kemaluanku. ?Iyya boss.. iyya,? jawabku tersengal-sengal menahan nikmat. ?Aaagghh..? erangku kemudian berbarengan dengan menyemburnya cairan dari ujung batang kemaluanku yang langsung memenuhi mulut dan wajah Sylvi. Tak Cuma berhenti disitu saja. Sylvi kemudian menjilat-jilat sisa cairan di sepanjang batang kemaluanku, memainkan lidahnya di ujung kepalanya, dan diakhiri kuluman lembut dengan memasukkan dalam-dalam batang kemaluanku ke mulutnya yang membuatku bagai terbang di awan.
?Sylvi jadi bossku terus aja yah,? kataku sambil mengecup bibirnya lembut setelah kami beristirahat.
?Kenapa.. suka ya permainan tadi? kalo gitu ciumin lagi tubuhku sebelum masa jabatanku berakhir,? katanya lagi yang kali ini agak manja.
?Dengan senang hati boss,? jawabku sambil mulai menjilati kembali tubuh bugilnya yang mulus dan menelentang pasrah itu tanpa ada yang terlewatkan.

Hari Seninnya, pagi-pagi di kantor, kami bertemu. ?Selamat pagi boss,? sapa kami bersamaan. Aku dan Sylvi saling memandang sejenak lalu tertawa bersama. So, who?s the boss?
Mosaik Para Istri yang diperkosa
Pemerkosaan seksual dalam beragam bentuk hampir setiap hari terjadi di seputar kita. Baca saja koran-koran kuning ibu kota yang pada setiap hari penerbitannya selalu memuat berita pemerkosaan atau tindak kekerasan seksual lainnya. Bahkan hampir setiap minggu berita-berita pemerkosaan menjadi headline.

Secara harfiah kata pemerkosaan berarti, memaksakan kehendak. Seseorang memperkosa secara seksual pada orang lain, artinya sesorang memaksakan kehendaknya atas segala yang dia pikirkan dan lakukan secara seksual kepada orang lain dan masa bodoh apakah orang lain itu senang atau tidak senang dengan apa yang dia lakukan. Prinsip memaksakan kehendak itulah yang menetapkan, bagaimanapun juga, sebuah pemerkosaan adalah sebuah kejahatan. Artinya pemerkosaan seksual adalah perbuatan yang penuh kepengecutan, noda dan pelanggaran hukum yang bisa mendatangkan penderitaan pada sang korban dan hukuman fisik dunia bagi para pelakunya.

Beberapa orang korban pemerkosaan atau orang dekatnya telah mengirimkan informasi atau kisah melalui e'mail ke saya. Ternyata demikian banyak ragam pemerkosaan, baik dari segi motif-nya, pemicunya, situasi saat pemerkosaan berlangsung, akibat sesudahnya dan sebagainya. Secara umum masyarakat memandang korban pemerkosaan sebagai aib. Tetapi di antara para korban tidak seluruhnya menyesali apa yang pernah mereka alami. Bahkan mereka menyebutnya sebagai pengalaman hidup yang indah. Mereka memperoleh sensasi nikmat birahi dari pemerkosaan yang mereka alami. Dalam batas-batas tertentu mereka selalu mengenang bahkan ingin sekali mengalaminya lagi.

Saat-saat yang paling menyeramkan dalam menghadapi pemerkosaan adalah saat awal terjadinya peristiwa. Rata-rata korban sangat ketakutan atas kemungkinannya tindakan keras dan kasar yang bisa melukai fisiknya atau bahkan mengancam jiwanya. Dan banyak para pemerkosa, yang biasanya memang lantas ketagihan untuk mencari korban berikutnya, sangat memahami kelemahan akan tekanan psikologis pada para korban tersebut. Oleh karenanya untuk memperlancar operasionalnya mereka juga menggunakan berbagai bentuk ancaman, baik berupa ancaman fisik lengkap dengan peralatan senjata tajam atau lainnya, juga ancaman mental psikologis misalnya dipermalukan atau mempermalukan di depan orang lain.

Sesudah melewati saat awal yang menakutkan itu ada 2 kemungkinan yang bisa terjadi pada sang korban, yaitu, dia menyerah pasrah dan menikmati sebagai bentuk petualangan seksual atau menyerah pasrah dengan tetap merasa menderita, dendam dan tertekan jiwanya. Hal tersebut sangat tergantung konsep alam pikiran maupun kesiagaan dan kesadaran mental setiap orangnya. Tetapi yang paling nyata adalah, apa yang sesungguhnya terjadi sulit sekali bisa dimengerti dan dibaca dari pihak luar.

Beberapa pelaku sering membela diri bahwa dia tidak memperkosanya, karena dia mengetahui pada saat pemerkosaan berlangsung sang korban nampak begitu menikmati perkosaannya, bahkan ada yang menyatakan ingin mengulangi kenikmatannya lagi. Beberapa komplain atau pengaduan dari korban lebih disebabkan adanya kehendak-kehendak lain di luar perkosaannya itu sendiri, misalnya kekhawatiran akan kemungkinan keluarga suami korban menuntut perceraian karena merasa aib, atau bahkan minta segera dikawinkan dengan si pemerkosa apabila ternyata belakangan ketahuan hamil dari hasil perkosaannya itu.

Mosaik di bawah ini hanya sebagian hal yang mungkin terjadi dari ribuan kemungkinan lain yang bisa terjadi pula. Dengan nama-nama orang yang disamarkan, dari beberapa informasi itu saya coba susun dan jadikan kisah pemerkosaan seksual khususnya yang dialami para istri sebagaimana yang tertera di bawah ini.

*****

Peristiwa Pertama,
DI ATAS KERETA API MALAM

Secara rutin aku dengan atau tanpa suamiku pulang mudik setiap 3 bulan. Maklum orang tuaku sudah uzur dan aku sama suamiku, Mas Marsudi, punya cukup waktu untuk jalan sana jalan sini. Anak-anak-ku sudah pada mandiri. Walaupun usiaku baru 42 tahun dan usia Mas Marsudi 47 tahun tetapi kami sudah berstatus kakek & nenek deng 2 cucu yang manis-manis. Kami merupakan pasangan yang sehat dan berbahagia. Sisa-sisa kecantikkan masa mudaku masih banyak menjadi perhatian para pria. Bahkan para perjaka tidak akan mengira kalau aku sudah nenek-nenek. Orang bilang sex appealku sangat menonjol. Dengan tinggi badanku yang 165 cm dan berat tubuh yang 52 kg mereka bilang tubuhku sangat sintal. Suamiku orang swasta yang tak kenal lelah. Ada saja yang dia kerjakan untuk kesejahteraan ekonomi kami. Satu hal yang masih dominan dalam diri kami masing-masing adalah libido kami yang masih terus menggebu. Kami masih melakukan hubungan seks dengan penuh ber-kobar-kobar setidaknya 3 kali seminggu. Kami merupakan pasangan yang bahagia dalam masalah seks ini. Tak ada kekecewaan yang menggelantung sebagaimana yang sering aku dengar dari keluarga yang lain. Aku selalu mendapatkan orgasmeku setiap kali berhubungan dengan suamiku.

Saat ini kami berada di stasiun Kota, Jakarta, menunggu kedatangan KA BIMA yang akan membawa kami ke Surabaya tempat orang tua kami tinggal. Tepat jam 7.30 malam kereta mulai bergerak ke arah selatan menuju satsiun Gambir, Manggarai dan Jatinegara untuk kemudian akan lurus menuju ke timur hingga stasiun Gubeng, Surabaya.

Dinginnya gerbong eksekutif BIMA membuat kami memilih banyak tidur. Mas Marsudi sendiri orangnya paling mudah tidur. Aku bilang nggak boleh kesenggol bantal, karena kesenggol sedikit saja dia langsung tidur pulas. Sesudah hidangan makan malam keluar, yang langsung kami santap habis, kembali kami tertidur. Aku sendiri yang tidak begitu tahan dingin, sebentar-sebentar ke toilet untuk membuang air kecil.

Kuperhatikan kursi di gerbong eksekutip ini sekitar 60 % terisi, maklum bukan hari libur. Mereka nampaknya para pedagang, karyawan yang sedang mendapatkan tugas atau cuti dan sebagainya. Kami kebagian kursi paling belakang, sehingga setiap penumpang selalu melewati kursi kami setiap akan menuju toilet kereta yang lokasinya tepat berada di belakang kursi kami. Dan yang paling aku perhatikan para pria selalu menyempatkan matanya untuk melirik ke aku. Aku sudah terbiasa dengan hal semacam itu. Sering dalam pikiran nakalku untuk mencoba menggoda mereka, apalagi kalau kebetulan ketemu orang ber-type Bon Jovi yang rambutnya bebas terurai, dadanya yang aduhai. Ah, tetapi itu hanya pikiran ngelanturku. Mas Marsudi walaupun typenya jauh dari yang namanya Bon Jovi telah memberikan segalanya padaku, mau apa lagi.

Sekitar jam 3 dini hari aku kebelet kencing. Saat aku keluar gerbong menuju toilet kulihat dalam kegelapan ada seorang pria yang sedang menunggu. Rupanya sesorang sedang berada di toilet. Aku malas untuk bolak-balik di atas kereta yang melaju 80 km per jam ini. Aku ikut nunggu saja. Begitu orang keluar dari toilet aku pikir pria yang lebih dahulu menunggu itu bergegas untuk masuk, tetapi ternyata dia tidak bergerak dari tempatnya. Aku pikir dia hanya mau cari angin barangkali. Jadi akulah kini yang bergerak masuk toilet. Begitu aku masuk langsung disambut cahaya lampu toilet yang benderang. Tetapi begitu aku mau menutup pintu tiba-tiba kulihat sebuah tangan berbungkus jaket kulit mengganjal antara daun pintu dengan kusennya. Aku panik, mau apa orang ini. Dia mendorong pintuku demikian kuat yang aku nggak mampu menahannya dia ikut memasuki kamar toilet yang sempit itu. Dia bekap mulutku kuat-kuat dengan tangannya agar aku tidak teriak. Aku sangat ketakutan. Aku panik.

Aku coba gedor-gedor dinding toilet agar orang-orang lain mendengar dan menolongku, tetapi lajunya kereta yang disertai berisiknya gerbong yang berlari kencang gedoran tanganku hanya sia-sia. Pria itu membisikkan padaku,
"Bu, jangan berisik. Awas nanti kalau kedengaran bapak di sebelah dinding dan kita ketahuan berdua-an di kamar toilet ini akau akan berlagak bahwa ibulah yang menarik aku masuk ke toilet bersama ibu".
Deg, hatiku langsung terpukul. Dan ternyata dia nggak memberi aku berpikir panjang. Dia langsung singkap rok-ku dan turunkan celana dalamku. Dengan tetap membungkam mulutku tangannya menyuruh aku untuk berbalik membelakangi dia. Dia dorong tubuhku hingga aku hampir terjatuh hingga tanganku secara refleks meraih pipa dan kran di depanku. Posisi tubuhku mau tidak mau menjadi setengah nungging. Pada saat itu pula aku merasakan tangannya mengelusi bokong dan meremasi nonokku. Dimainkannya jarinya pada kelentitku dan dimasuk-masukannya ke lubang vaginaku. Dengan tangan lainnya yang terus membekat mulutku membuat aku nggak bisa berteriak kecuali berpikir dan merasakan apa yang terjadi. Akhirnya karena ketakutan dan kekagetan yang melandaku, aku merasa lebih baik mengalah dari pada terjadi hal-hal yang mungkin berakibat fatal padaku.

Remasan jari-jari pada nonokku kurasakan mulai melanda birahiku dan semakin hebat akibatnya. Aku merasakan nonokku mulai membasah. Cairan birahiku mulai mengalir keluar di lubang vaginaku. Aku mengerang penuh kehausan. Dan saat jari-jarinya dia cabut dan angkat aku sangat tak sabar menunggu penggantinya. Dan saat sebuah tonjokkan bulatan panas mendesak bibir vaginaku aku tahu bahwa ****** lelaki itu telah siap ******* nonokku. Aku langsung menggelinjang. Kini aku didorong oleh suatu keinginan yang kuat sekali untuk merasakan ****** orang lain yang bukan suamiku menembusi memekku. Keinginan itu pasti nafsu birahiku yang telah menyergap aku yang membuat aku terbakar hingga melumpuhkan nalar sehatku. Refleks pada pantatku kini adalah menggoyang agar ****** itu lekas meruyak ke dalam vaginaku yang sudah demikian gatal menantinya. Aku merintih.

Aku dilanda prahara nikmatnya pemerkosaan padaku ini. Dan kini yang terjadi adalah dua insan yang berpacu untuk meraih orgasmenya dalam ruang toilet sempit diatas rel yang melaju antara Jakarta Surabaya. ****** lelaki itu dengan sangat cepat memompa kemaluanku. Dan aku sendiri menjadi sepenuhnya menyambutnya. Pantatku terus bergerak maju mundur mengimbangi kecepatan pompanya. Dan sepertinya memang demikianlah yang harus terjadi. Persanggama-an buah pemerkosaan ini tidak berlangsung lebih dari 5 menit. Kami sama-sama menumpahkan cairan-cairan kami. Sperma panas lelaki itu menyemprot-nyemprot dan membanjiri liang vaginaku. Aku meraih orgasme dalam sensasi birahinya korban pemerkosaan. Aku sangat puas. Demikian besar kepuasan orgasme yang aku dapatkan dan rasakan melebihi lebih dari 5 tahun orgasmeku yang secara rutin aku dapatkan dari suamiku. Aku melenguh kelelahan.

Aku masih setengah nungging dan lelah saat lelaki itu demikian saja menghilang ke balik pintu. Dia meninggalkan aku sendirian kembali. Kini pintu aku kunci. Dan aku mulai berkilas balik. Saat lelaki itu mengganjalkan tangannya di pintu, kemudian membekap mulutku, kemudian menyibak rok-ku dan memelorotkan celana dalamku, kemudian membalikkan badanku hingga setengah menungging, kemudian mengobok-obok memekku, kemudian menusukkan ******nya pada vaginaku, kemudian memompakan ******nya yang aku langsung sambut dengan pantatku yang maju mundur menjemputi pompaannya. Dan yang paling akhir adalah orgasmeku yang demikian dahsyat nikmatnya mengalahkan nikmat-nikmat orgasmeku dengan suami sepanjang lebih dari 5 tahun terakhir ini. Oohh.., kenapa ini terjadi padaku.

Saat aku keluar toilet aku dihinggapi rasa bimbang, adakah aku masih istri yang setia? Adakah aku masih berhak duduk di samping suamiku yang masih tidur pulas sejak kutinggalkan ke toilet tadi? Kulihat wajah suamiku yang begitu damai. Yang tak pernah tahu bahwa walaupun bukan mauku, aku merasa telah menghianatinya.

Peristiwa Kedua,
SOPIR BOSS

Pesta ulang tahun istri boss telah usai. Para undangan sebagian menuju mobil mereka untuk pulang, sebagian lain lagi menunggu supir masing-masing berdiri di kanopi rumah boss. Dengan ditemani istri boss aku menunggu suamiku yang saat ini masih terlihat bicara serius dengan boss serta staff direksi yang lain. Beberapa saat kemudian kulihat suamiku bersama boss mendekat ke aku. Boss yang bicara padaku,
"Maaf Bu Dibyo, pak Dibyo saya tahan karena ada yang perlu dibicarakan untuk pertemuan dengan pengusaha Jerman besok. Ibu biar diantar Tarjo supir saya pulang lebih dahulu. Nggak apa-apa ya Bu, maaf nih", demikian permintaan maaf boss Mas Dibyo yang nggak mungkin aku sanggah lagi sebagaimana kebiasaan di lingkungan kantor kami.
Ada kebanggaan bahwa suamiku, Mas Dibyo, merupakan staff inti yang selalu dibutuhkan pada saat-saat kritis seperti ini, tetapi aku sudah terlampau banyak dikorbankan untuk hal-hal seperti ini.

Kebetulan aku meraih "door prize" saat istri boss mengundi nomer urut tamu malam ini. Lumayan aku dapat flat TV 21 inchi yang bisa aku pasang di kamar tidurku nanti. Mobil BMW 650i yang super mewah berhenti di latar kanopi begitu boss usai bicara padaku. Tarjo sang supir bergegas mengambil dooz besar TV-ku dan membukakan pintu kursi belakang untukku.

"Selamat malam, Bu. Wah rupanya pak Dibyo bisa sampai malam hari ini, Bu. Soalnya saya dengar rombongan pengusaha Jerman itu minta bapak untuk membuat draft LOI (maksudnya, Letter of Intent) untuk besok pagi". Begitu Tarjo memberikan selamat malam padaku dan menyampaikan informasi mengenai tugas Mas Dibyo hasil dari nguping pembicaraan bossnya.

Sampai di rumah aku turun lebih dahulu untuk membuka pintu dan menyalakan lampu ruang depan. Tarjo mengangkat dooz TV ke dalam rumah. Saat itu terpikir alangkah baiknya kalau Tarjo bisa sekalian membantu membongkar TV-nya dan menaruh di kamar tidurku. Dengan senang hati dia melakukan permintaanku. Boss sudah nggak nunggu saya lagi kok Bu, jadi saya bisa bantu ibu sebentar, begitu jawabnya. Saat itu kuperhatikan matanya begitu berbinar setiap aku ngajak omong. Dia tidak hanya memperhatikan bibirku yang bicara tetapi juga gaun malamku yang menampakkan bahuku yang terbuka, belahan buah dadaku, pinggulku. Aku sudah terbiasa menghadapi pandangan mata lelaki macam itu, tetapi mestinya bukan kelasnya Tarjo. Aku merasakan bahwa sebagai lelaki Tarjo pasti juga tergerak birahinya melihat perempuan seperti aku, itu jelas dari cara matanya memandangku. Aku mafhum.

Tarjo dengan cepat dan cekatan melaksanakan permintaanku. Nampaknya dia ingin benar-benar membuat aku senang. Dan sebagai terima kasihku kubuatkan minuman saat selesai memasang TV di kamar tidurku. Sementara dia minum aku masuk kamar untuk ganti baju.

Aku sedang membuka blus setengah dadaku yang tanpa kancing melalui kepalaku ketika tiba-tiba aku mendengar langkah kaki Tarjo memasuki kamarku dan sama sekali tak kuduga ketika dia memelukku dengan kuat dan langsung menciumi ketiakku. Aku berteriak tertahan karena malu kalau sampai kedengaran tetangga, sementara mukaku masih tertutup oleh blusku sehingga aku tidak melihat apa-apa di sekelilingku. Dengan sigap tangan kuat Tarjo membekap mulutku dari balik blusku,
"Jangan teriak, Bu. Malu khan kalau kedengaran tetangga. Saya nggak tahan nih Bu. Kepingin ******* ibu sejak berangkat dari rumah boss tadi. Sebentar saja, Bu". Gaya bicara Tarjo yang demikian tenang sangat membuatku jengkel dan marah. Sepertinya dia biasa melakukan hal begini kepada orang lain. Dasar begundal gila kamu, Jo.

Aku berontak dan jatuh ke ranjang tertindih tubuh Tarjo yang terus merangsek ketiak dan bagian tubuhku yang lain. Aku mulai ketakutan Tarjo akan memperkosa aku. Nggak mungkin dia berbuat begitu padaku yang istri atasan dia juga. Tetapi teriakkan dan berontakku rasanya sia-sia. Dia terlampau kuat buat aku. Dengan mudah Tarjo meringkus aku. Mulutku disumpal dengan sapu tanganku yang dia raih dari meja toiletku. Tanganku dia ikat kuat-kuat pakai tali rafiah bekas pengikat TV ke kisi-kisi ranjangku. Sementara kakiku ditahan dengan tubuhnya dengan kuat.

Aku terus berusaha berontak dengan tubuhku yang masih bebas untuk menggeliat menolak muka Tarjo yang nyungsep ke dadaku yang hanya tinggal memakai BH. Kakiku juga masih berusaha melawan kendati tubuhnya sangat kuat menindihku. Aku mulai berpikir kalau aku bisa menendang selangkangannya pasti Tarjo akan kesakitan. Tetapi aku nggak mampu. Bahkan tangan kanan Tarjo yang telah menyingkap gaun malamku mulai menarik-narik celana dalamku. Aku mulai menangis putus asa. Bagaimanapun nafsu jahat Tarjo akan kesampaian juga.

Dengan menangis ini Tarjo jadi tahu bahwa perlawananku tinggal separoh, selebihnya tinggal keputus asa-an dan penyerahan tubuhku yang siap untuk melampiaskan nafsu binatangnya. Hal ini membuat Tarjo menjadi lebih gila dan mulai melepasi ikat pinggang kemudian memerosotkan celana panjangnya hingga ke pahanya. Aku memang semakin putus asa saat kurasakan Tarjo berhasil menarik melepasi celana dalamku kemudian menguakkan selangkanganku dan menenggelamkan wajahnya ke kemaluanku. Dia merangsek menciumi dan menyedoti nonokku. Aku tak bisa membayangkan lagi bagaimana perasaanku waktu itu. Kemaluanku yang berbulu tipis dengan bibir vaginanya yang sangat ranum dilumat-lumatnya yang terkadang sambil melepaskan gigitan-gigitan kecilnya.

Cukup puas menggarap kemaluanku kini wajah Tardjo merangkaki perutku. Dengan bibirnya yang terus menjilati dan menyedoti tangan-tangannya melepasi BH-ku dan membetot keluar payudaraku yang memang sangat menggunung dan pasti menimbulkan nafsu birahi Tardjo yang makin kesetanan ini. Kemudian dari jilatan dan sedotan di perutku bibirnya bergerak cepat beralih mengenyoti dengan sangat ganas buah dadaku yang sudah keluar dari BH yang sudah berantakkan ikatannya.

Dan di bawah sana kurasakan benda keras yang aku pastikan adalah ******nya mulai didorong-dorongkannya ke lubang vaginaku. Aku semakin benar-benar tidak melihat jalan keluar lagi. Aku dilanda kecemasan dan ketakutan yang amat sangat. Aku menjadi lumpuh dengan penuh sakit di hatiku. Aku terus menangis. Sopir gila ini benar-benar akan memperkosa aku. Edan. Gila. Benar-benar ****** kamu, Tarjo.

Tetapi Tardjo ternyata sangat professional untuk merubah penolakanku menjadi penantianku. Dengan bertumpu pada lumatan, isepan dan gigitan pada payudara dan pentil-pentilku yang sangat intens, Tardjo mengembangkan variasi remasan dan rabaan pada bagian-bagian tubuhku yang paling sensitive. Terkadang jarinya seakan mencakar kasar untuk kemudian berubah mengelus lembut. Aku dipermainkan oleh gelombang sentuhan erotisnya. Aku tergiring untuk memasuki wilayah peka birahi yang demikian dahsyat. Aku nggak habis pikir, terkadang aku dibuatnya menunggu, apa lagi dan yang mana yang akan dirambah rabaannya. Dan itu merupakan siksaan yang paling aku benci. Menunggu Tardjo, menunggu rabaannya, sementara lidah dan bibirnya terus menggelitik payudara dan pentilku dengan disertai dengusan serta lenguhan nikmat yang sangat merangsang iba birahi siapapun yang mendengarnya. Rasanya dalam waktu yang singkat kini beralih aku yang terlanda kehausan. Birahiku seakan tercambuk untuk mendera nafsu libidoku. Ayooo, Tardjoooo, cepattt.. yang mana lagi.., ayooo, kurang ajar benar sih, kamu..

Aku ngap-ngapan mengejar nafasku karena perbuatan Tardjo ini. Kini situasinya jadi berbalik. Kini aku yang justru menginginkan Tardjo dalam arti sesungguhnya untuk memperkosa aku habis-habisan. Kini aku berubah menjadi hewan betina yang menunggu dilahap rakus jantannya.

Dan ketika akhirnya kurasakan ujung ****** Tarjo mendesaki gerbang vaginaku. Bibir vaginaku kurasakan menebal dan menjadi sangat peka terhadap sentuhan. Aku sangat berharap ****** Tardjo cepat menembusi nonokku. Aku goyangkan pantatku naik turun dan berputar cobek untuk menjemput dan menangkap batangan ****** Tardjo. Aku sudah demikian kegilaan menunggunya. Oohhh.., Mas Dibyooo, maafkan aku, ini bukan salahku, masss.. Kenapa kamu nggak pulang mengantar aku dulu kemudian kembali dengan urusan pekerjaanmu, demikian aku menangisi nasibku. Dan Tarjo mulai dan terus mengocok-ocokkan ******nya secara intensif ke liang kemaluanku.

Dan saat akhirnya vaginaku menelan seluruh batangan ****** itu, wwuuhhh.. Aku dilanda gelinjang nikmat yang sangat dahsyat. Kini aku mendesah dengan hebatnya. Dan lebih konyol lagi, kegatalan pada nonokku terus memaksa pantatku bergoyang naik turun untuk menjemput ****** Tarjo agar menembusi lebih dalam lagi, dan bergoyang seperti "ngebor", memutar pantat ke kanan dan ke kiri agar memekku bisa melumat batang ****** untuk menggaruk dinding vaginaku yang nggak mampu aku tahan lagi rasa gatalnya. Dan inilah yang diharapkan Tarjo sebagai tanda telah mampu menundukkan aku. Oocchh, ampuni aku Mas Dibyooo..

Kini Tarjo merasa tidak perlu terlampau ketat menahan meringkus aku. Bahkan dengan penuh keyakinan sumpal di mulutku dilepasnya. Tarjo tahu aku telah berada di wilayah kenikmatan birahiku dan tak akan mungkin berteriak-teriak yang membuat kehilangan kenikmatan itu. ******nya mulai dipompakan secara teratur dan cepat menembusi nonokku. Dan cairan birahiku tak lagi bisa menyembunyikan hadirnya nafsu birahiku itu.

"Bu, enhak sekali ya, Bu .., Bu enhaakk, yaa..", racau Tardjo sambil menahan birahinya yang sudah demikian tak terkendali. Tetapi ucapan Tarjo itu sama sekali tidak salah. Aku memang merasakan enak dan nikmatnya pemerkosaan ini. Bahkan kini aku benar-benar menggoyang-goyangkan pantatku karena kenikmatan yang menimpa diriku. Dan racauan mulutku mengalir menyahuti menyemangati racauan Tarjo,
"Teruzzss Mas Tarjo.., terusszz.., enhhaakk.., terusszzhh..".

Semua menjadi serba cepat. Genjotan ****** Tarjo yang semakin kuat ******* kemaluanku membuat susu-susuku tergoncang-goncang seperti terlanda gempa bumi. Aku merasa kehausan yang amat sangat. Aku minta Tarjo menciumi bibirku. Kami saling melumat dengan ganas yang disebabkan gelombang dahsyat yang menerpa birahi kami. Dan kini aku merasa seluruh urat dan otot-otot tubuhku meregang. Aku merasa ada desakkan kuat yang harus meledak keluar dari dalam tubuhku. Dan kemudian aku merasakan aliran stroom jutaan watt hadir mengawali muncratnya cairan birahiku dari dalam kemaluanku. Aku merasakan kenikmatan yang dahsyat saat orgasmeku datang. Mataku membeliak-beliak menahan dera nikmat. Aku gigit pundak Tarjo hingga terluka.

Aku belum pernah mendapatkan pengalaman nikmat macam ini selama perkawinanku dengan Mas Dibyo. Aku menjadi buas dan kehilangan perasaan malu. Aku meracau dan mengeluarkan ucapan-ucapan yang sangat seronok dan kotor yang seharusnya tidak keluar dari mulutku. Aku terdorong oleh nafsu birahiku yang menggelegak hebat mengucapkan nikmat luar biasa sambil merintih. Dan berbareng dengan itu, Tarjo yang seperti orang gila semakin keras dan cepatnya memompa nonokku hingga kudengar suara bijih pelirnya yang memukul-mukul bawah nonokku. Tarjo menyusul menyemprotkan air maninya yang sangat panas ke dalam memekku. Aku tak bisa bayangkan lagi betapa kuyupnya lubang kemaluanku. Air mani dan cairan birahiku membusa meleleh keluar menyertai keluar masuknya pompaan ****** Tarjo. Dan akhirnya semua berhenti.

Sepertinya Tarjo lunglai menindih tubuhku dengan keringatnya yang mengalir deras dari tubuhnya, tetapi wajahnya yang juga basah yang nyungsep di belahan dadaku bibirnya masih pelan mengenyoti payudaraku dan ******nya yang terendam basah masih kurasakan tegang kaku dalam rongga kemaluanku. Walaupun terus terang aku mendapatkan kenikmatan seksual yang hebat dari paksaan Tardjo tapi demi gengsiku kutolak tubuh Tardjo dari tubuhku, aku ingin dia cepat menyingkir dari aku. Tetapi apa kata dia,
"Bu Dibyo, kemaluan ibu seperti kemaluan perawan, sangat sempit dan sangat nikmat. ******ku belum puas, Bu. Aku mau lagi. Aku mau ibu melayani aku lebih baik lagi. Aku pengin ******* ibu lagi. Aku mau ibu menjilati ******ku sebelum kumasukkan ke nonok ibu lagi".
Edan kau Tardjooo.. Omonganmu sama sekali menghinaku. Kamu anggap apa aku ini? Memangnya aku tempat pelampiasan nafsu binatangmu? Memangnya aku budakmu? Pergi kau Tardjoo.. Pergi..!!!, demikian aku berteriak padanya.

Terus terang aku berteriak bukan benar-benar menyuarakan hatiku. Aku hanya berteriak demi gengsiku. Aku akan menangis penuh penyesalan seandainya Tardjo lantas dengan kecut meninggalkan aku. Terus terang kata-kata jorok brutal Tardjo tadi tiba-tiba menjadi sensasi birahi yang menggelegak menghantam sanubari libidoku. Aku merasakan birahi nikmat mendengar kata ****** belum puas, ******* nonokku, menjilati ******nya, ah, merinding dan bergetar merasakan betapa kata-kata itu menjadi demikian merangsang nafsu birahiku. Aku ingin mendengarnya lagi, aku ingin Tardjo mengucapkannya lagi untukku. Aku ingin ada kata-kata yang lebih kotor lagi. Aku ingin Tardjo mengucapkan keinginan kotornya padaku lagi.

Tetapi ternyata dia tidak bicara lagi. Dia bertindak. Dia mencabut dari memekku ******nya yang masih kuyup oleh lendir spermanya yang tercampur dengan cairan birahiku. Dia merangkaki tubuhku. Dia melangkahi payudaraku untuk mendekatkan ******nya ke wajahku. Untuk menjejalkan ke mulutku. Sungguh mati aku sangat jijik menghadapi ini. Mulutku belum pernah mencium apalagi mengulum ******. Aku sangat jijik karena memang belum pernah aku melakukannya walaupun suamiku sering minta agar aku melakukannya. Walaupun kedua tanganku masih tetap terikat, aku mati-matian menggeliat-geliat untuk berusaha menolaknya. Aku pandang hanya binatang saja yang melakukan cara macam ini. Tetapi Tardjo yang menjadi demikian terbakar nafsunya melihat geliatan tubuhku tidak memintaku. Dia memaksa aku. Dia telah berhasil memperkosa kemaluanku, dan kini dia akan memaksa mulutku untuk menerima ******nya.

Dan Tardjo memiliki banyak cara. Dia memencet hidungku hingga aku kesulitan mengambil nafas sampai mulutku terpaksa terbuka untuk bernafas. Pada saat itu ******nya langsung disodokkan dan dijejalkan ke mulutku. Reaksi pertamaku adalah gelagapan dan rasa muak yang tak terhingga. Aku mau muntah. Tetapi keinginan itu seketika lenyap ketika Tardjo dengan tiba-tiba dan sangat kurang ajar meraih kepalaku, menjambak rambutku dan kemudian berkali-kali menampari pipiku. Kali ini aku sungguh-sunguh merasa direndahkan harga diriku. Seorang sopir macam Tardjo beraninya menampar istri bossnya.

Tetapi Tardjo sudah kerasukan setan. Dan yang hadir pada diriku kini bukan lagi gengsi tetapi ketakutan yang amat sangat pada orang yang kerasukan setan. Aku jadi terpaksa membiarkan ******nya yang disodok-sodokkan ke mulutku. Aku pasif, tidak menggerakkan mulutku sama sekali, tetapi Tardjo kembali menamparku,
"Ayo, Bu, isep-isep ****** enak, Bu, kulum, ayo, enak ini bu..", antara ketakutan dan merinding birahi yang sangat, aku diserang gemetar hebat. Dan diluar kesadaranku akhirnya aku mengulum ******nya. Aku menggerakkan bibirku. Aku menjilatinya. Rasa asin yang menyergap lidahku membuat aku terkaget. Tetapi Tardjo sama sekali tak memberikan aku ruang untuk menolak. ******nya sedikit demi sedikt dijebloskan ke mulutku hingga menyentuh tenggorokanku. Kemudian ditariknya sedikit untuk kembali dijebloskannya lagi, demikian di ulang-ulanginya hingga aku jadi ber-adaptasi. Aroma sekitar selangkangannya yang semula sangat membuat aku mual kini tak terasa lagi. Rasa jijikku menyurut.

Paksaan yang tak bisa kutolak menggiring aku untuk kompromi. Aku menerima dengan setengah perasaanku, sementara aku mencoba meraba dimana kenikmatannya. Sampai-sampai orang-orang suka membicarakan hal macam begini, bagaimana rasa nikmat melakukan oral seksual dengan mengkulum dan mejilati ****** lelakinya. Dan saat tangan Tardjo juga meremasi buah dadaku dan memainkan pentilku aku tak bisa mengelak, nikmat birahi melumati ****** lelaki segera merambati aku pelan, pelan, pelan dan kemudian menerkam diriku dengan hebatnya. Situasi serasa berbalik 180 derajat, akulah kini yang mengerang dan mendesah sambil dengan penuh penghayatan dan nafsu birahi aku memperdalam dan memompa ******nya dengan seluruh haribaan mulutku. Tardjo tahu aku sudah bisa dia taklukkan. Dan aku merasakan gelinjang nikmat bagaimana sebagai perempuan terhormat ditaklukkan oleh ****** supirnya.

Aku merasakan sensasi seksual sebagai budak nafsu supir boss suamiku. Kini aku menjadi pihak yang banyak menuntut. Aku ingin Tardjo menumpahkan seluruh nafsunya ke tubuhku. Setiap tindakan kasarnya menambah nikmat birahiku. Keinginan untuk menyerah sebagai budak taklukannya merupakan ungkapan yang sangat sensasional untuk nafsu birahiku. Aku ingin direndahkan. Aku ingin dihina. Aku ingin dijajah oleh Tardjo. Aku bahkan ingin disakitinya. Untuk itu aku berontak habis-habisan hingga ******nya lepas dari mulutku. Aku tendang sebisaku apa yang aku bisa tendang. Aku cakari tubuhnya. Aku maki dia dengan kasar,
"****** kamu Tardjo, babi, setan!", dan rupanya perlawananku langsung memancing kemarahannya. Aku ditamparinya hingga bibirku pecah dan berdarah. Dia memaki aku,
"Dasar pelacur kamu, cabo murahan, pemakan tai!", katanya dengan kasar sambil meraih mukaku dengan kedua tangannya.

Dipegangnya mulutku pada rahang bawah dan atasnya. Dipaksakannya aku membuka mulutnya. Kemudian di ludahi mulutku. Dia ludahi lagi. Dia ludahi terus mulutku. Dia gumpalkan air liurnya ke bibirnya kemudian diludahkannya kemulutku. Dan setiap kali dia membuang ludahnya ke mulutku, setiap kali pula dia pencet hidungku hingga aku gelagapan dan terpaksa aku menelan ludahnya. Tiba-tiba merinding dingin dan gemetar seluruh tubuhku, seakan badai kutub utara menyergap aku. Seluruh saraf-saraf dan ototku mengejang. Aku merasa kegatalan birahi yang sangat pada kemaluanku dan membuat rasa ingin kencingku meledak-ledak. Aku tahu perlakuan kasar Tardjo telah memancing nafsu birahiku dengan dahsyat. Dan kini aku akan kedatangan nikmat orgasme yang tak kuduga-duga akan secepat ini sebelumnya.

Aku sudah tenggelam dalam badai birahi yang tak lagi terkendali. Ludah Tardjo telah mendongkrak libidoku dan mendorongku untuk kembali mencengkeram dan memepet-pepetkan selangkanganku ke tubuh Tardjo sebagai ungkapan kegatalan nonokku sambil aku merintih dengan histeris dan setengah teriak,
"Tardjo, masukin ******mu, Djo, entot aku lagi, Djo, tolong, entot aku lagi", tentu saja dia heran akan sikapku yang berbalik 180 derajat.
Dan langsung Tardjo menyambut gembira histerisku itu. Tetapi dia tidak langsung menjawab permintaanku. Dia melepaskan terlebih dahulu tanganku dari ikatannya. Dia nampak begitu yakin bahwa aku telah benar-benar dia kalahkan. Dia ingin merasakan bagaimana aku akan sepenuhnya mengekspresikan kenikmatan yang dia berikan. Dia ingin aku menggunakan tangan-tanganku untuk memelukinya dikarenakan birahi yang membakar diriku.

Dengan penuh keyakinan dia kangkangkan selangkanganku. Dia arahkan ******nya ke nonokku yang dengan serta-merta pantatku naik tinggi-tinggi menjemputnya. ****** itu langsung.. bleezzhh.. menghunjam dan ditelan memekku bulat-bulat. Dengan tanganku yang terbabas aku memeluki tubuh keringat Tardjo dengan sepenuh puas hatiku. Dengan cepat pantatku goyang memutar dan memompa naik turun.

Saat orgasmeku benar-benar berada di depan gerbang puncak nikmat, aku berbalik dengan cepat ganti menindih tubuh Tardjo. Doronganku adalah menghunjamkan ******nya untuk lebih dalam meruyak menusukki nonokku. Dan saat itulah, cakar-cakarku melukai bahu Tardjo dengan disertai teriakkan seperti ****** betina yang melonglong keenakkan dientot jantannya, orgasmeku akhirnya muncrat, tumpah ruah membuat nonokku menjadi banjir dan kuyup. Dengan cepat kuterkam mulutnya dengan mulutku, kuhisap-isap lidah dan ludahnya untuk menghapus dahaga birahiku dan menuntaskan puncratan cairan birahiku. Kuhisap terus, kuhisap terus, kuhisap terus hingga akhirnya aku tergeletak lemas ke kasur pengantinku. Sepintas aku lihat Tarjo bangkit dan meloco ******nya. Dia mengeluarkan spermanya beberapa saat kemudian disertai dengan teriakkan lepas birahinya dengan sekeras-kerasnya. Dia puncratkan sperma hangatnya ke tubuhku, ke dadaku, ke mukaku, ke rambutku. Sesudah ber-galon-galon spermanya tersedot keluar, Tardjo jatuh lemas ke kasur di sebelahku. Aku terlena.

Entah berapa lama aku tertidur kecapaian hingga terbangun saat kulihat Tardjo bergerak bangun. Mataku yang kini selalu terpaku pada ******nya melihat betapa ****** gede itu belum nampak surut juga dari tegang kakunya. ****** itu masih nampak ber-ayun-ayun setiap kali pemiliknya bergerak ke-sana-kesini. Kulihat dia bergerak turun.

Dia balikkan tubuhku kemudian dia tarik kakiku hingga tungkai kakiku terjuntai ke lantai. Dia rabai lubang pantatku. Kemudian aku rasakan dia membenamkan wajahnya di sana untuk menciumi dan menjilati lubang analku. Rasa gatal yang sangat dengan cepat kembali menggelitik nafsu birahiku. Suamiku tak pernah menjilati pantatku, apalagi lubangnya sebagaimana yang dilakukan Tardjo kini. Aku tidak berfikir lagi untuk menolaknya, rasanya Tardjo sudah menaklukkan aku secara total, aku pasrah apa maunya saja. Saat dia menjilati dan menusukkan lidahnya ke lubang anusku aku langsung menggelinjang. Tanganku bergerak kebelakang meraih kepalanya, aku ingin Tardjo lebih tenggelam lagi menjilat pantatku. Tetapi Tardjo bergerak bangkit sambil beberapa kali meludahi lubang anusku. Dia tusukkan jar-jarinya ke lubang itu. Aku kesakitan dan mengaduh. Dia tidak ambil pusing.

Dan ketika ******nya dia asongkan ke analku, aku baru tahu, rupanya Tardjo ingin melakukan sodomi padaku. Aku rasanya tak mampu berkutik. Aku menjadi tawanan yang sudah lunglai kehabisan tenaga untuk melawan musuhku. Dan saat rasa sakit yang langsung menerpa pantaku karena ****** Tardjo memaksakan untuk menembusinya, aku tak menahan diri lagi untuk berteriak sekeras-kerasnya. Aku benar-benar tak tahan menerima tusukkan ******nya di pantatku. Aku belum pernah merasakan sodomi, bahkan berpikir saja tak pernah.

Rasa panas dan pedih pada bibir dan dinding anusku tak tertahankan lagi. Aku berusaha berontak menghindar, tetapi justru membuat aku semakin terkunci oleh jepitan tubuhnya yang sambil terus menggerakkan pantatnya merangsek dan mendorong serta menarik ******nya memompa anusku. Kini aku benar-benar diperlakukan seperti ****** betina, Dengan setengah tengkurap di tepian ranjang dan kaki terjuntai ke tanah, aku dipaksa menerima peralakuan sodomi pada pantatku. Aku terguncang-guncang oleh sodokkan ritmisnya. Anusku terasa sangat panas seperti kecabean dan pedihnya luar biasa. Kembali aku menangis. Aku melolong karena rasa sakit yang amat sangat.

Tardjo menikmati banget apa yang dia bisa raih dari tubuhku. Dengan terus menyodomi analku dia memelukku dari belakang, menciumi kudukku habis-habisan sambil tangannya merangkul tubuhku dan meremasi payudaraku. Kudengar nafasnya yang mengendus dengan buas menyertai nafsu birahinya yang benar-benar telah menjadi binatang liar yang tak terkendali lagi.

Saat akhirnya ****** itu terus mempercepat pompaannya, aku tahu bahwa Tradjo telah mendekati puncak birahinya. Untuk yang kesekian kali dia akan menyemprotkan air maninya ke dalam tubuhku. Di antara panas dan pedih yang merobek-robek lubang pantatku aku terguncang-guncang di atas ranjang pengantinku sambil meraung kesakitan. Aku merasakan betapa sodomi ini begitu menyiksaku. Kepalaku langsung pening, mataku terasa menggelap ber-kunang-kunang. Kuremasi pinggiran kasurku dalam upaya menahan kepedihan itu. Yang aku pikirkan hanyalah kapan siksaan ini berhenti dan selesai. Aku nyaris kehilangan kesadaranku saat Tardjo kembali menyemprotkan lahar panasnya di lubang analku. Lendirnya melicinkan bibir dan dindingnya hingga rasa sakit ini sedikit berkurang. Tardjo kembali berteriak histeris, melolong bak ****** jantan yang telah memuasi betinanya. Kemudian kembali dia lemas dan rebah penuh keringat menindihi punggungku. Aku lemas sekali. Aku berharap Tardjo sudah lemas dan puas pula hingga tidak lagi memaksa aku untuk menampung kebrutalannya lagi. Aku harap selekasnya Tardjo meninggalkan aku. Aku sudah tak mampu lagi melayaninya. Percuma. Aku nggak akan mampu lagi menikmatinya. Dan harapanku benar terpenuhi.

Tetapi caranya sungguh menunjukkan kekurang-ajarannya. Tanpa memperhatikan keadaanku, tanpa ada omongan "ba bi Bu" enak saja Tarjo turun dari ranjangku. Dengan tanpa mencuci apa-apa pada tubuhnya, ditariknya kembali celana panjangnya yang tetap nyangkut di pahanya dan menutup resluitingnya serta mengikat kembali ikat pinggangnya. Dan kemudian dengan se-enaknya dia ngeloyor pergi,
"Terima kasih, Bu. Maafin saya, ya, Bu", demikian kering kata-katanya, seolah apa yang telah terjadi bukan hal yang luar biasa. Kemudian dengan sama sekali tidak menunggu reaksiku dengan cepat dia meninggalkan aku yang masih tergolek telanjang di tempat tidurku.

Sesudah lebih dari 1 jam dia melampiaskan nafsu hewaniahnya untuk mendapatkan kepuasan birahinya dengan cara memaksa menggauli aku, dengan menembusi nonokku, mulutku dan yang terakhir lubang duburku tanpa khawatir akan suamiku yang bisa kapan saja muncul pulang tiba-tiba, kini sepertinya pahlawan yang meninggalkan musuhnya yang sedang sekarat dia pergi begitu saja tanpa tanda-tanda dan jejak yang bisa dijadikan alibi kecuali hatiku yang terluka dan bimbang.

Aku bimbang, benarkah Tardjo telah memperkosa aku? Dengan kenikmatan yang begitu luar biasa yang kudapatkan dari pemerkosaku aku menerima perbuatan Tardjo sebagai sesuatu yang tak akan pernah kusesali seumur hidupku. Masih pantaskah aku disebut istri yang setia bagi Mas Dibyo? Ah, lelaki dimana-mana sama saja, membingungkan. Dasar bajingan kamu, Jo.

DI BAWAH SELIMUT KERETA MALAM ARGO LAWU

Ini memang bukan masalah sepele, bukan sekedar masalah tangan, bukan sekedar soal keusilan seseorang. Aku merasa ini sudah menyentuh masalah prinsip sebuah kesetiaan. Kesetiaan seorang istri yang telah 20 tahun lebih mampu menahan segala terpaan goda nafsu birahinya.

Setiap 2 atau 3 bulan sekali aku bersama suamiku, Mas Rudy, pergi ke Solo menengok anakku yang kuliah di Universitas Sebelas Maret (UNS). Tetapi keberangkatanku sekarang ini terpaksa aku lakukan sendiri karena Mas Rudy kebetulan ada urusan pekerjaannya yang tidak bisa ditinggalkan. Dia berjanji akan menyusul dan menjemput aku saat kepulangannya nanti. Mas Rudy hanya bisa mengantarkan sampai aku duduk nyaman di kursiku di kereta api Argo Lawu yang akan meninggalkan stasiun Gambir menuju Solo jam 7.30 malam. Kalau tidak ada kelambatan kereta Argo Lawu ini akan memasuki stasiun Balapan Solo sekitar jam 5 pagi. Anakku Suryo sudah akan menunggunya di sana.

Aku dapat tempat duduk dengan nomor 14 C di larik sebelah kanan gerbong. Kursi di sampingku yang berada ditepi jendela nampaknya sudah ada yang menempati, orangnya tidak kelihatan tetapi dari barang bawaannya dan jaket yang ditaruh dikursinya aku perkirakan dia adalah orang laki-laki. Beberapa detik sebelum keberangkatan Mas Rudy turun dengan sebelumnya mencium pipiku sebagaimana kebiasaan kami apabila ada anggota keluarga datang atau pergi melakukan perjalanan.

Sesaat kereta bergerak meninggalkan Gambir seorang pria muda pemilik kursi di sampingku baru muncul. Dengan penuh santun dan hormat dia mengucapkan selamat malam padaku dan bahkan menawari aku apabila aku menghendaki duduk di kursinya yang disebelah jendela. Aku ucapkan terima kasih, aku tidak ingin pindah dari kursiku. Pertimbanganku karena aku ini punya kebiasaan beser. Bisa dipastikan aku akan berbelas-kali mondar-mandir ke toilet untuk kencing. Dan itu akan membuat aku sungkan apabila setiap kali aku harus ngomong sama dia untuk ke toilet.

Pria ini berinisiatip untuk banyak ngomong dan mengajak aku berbicara. Dari pembicaraannya kelihatan bahwa dia adalah seorang terpelajar. Dia ke Solo dalam rangka tugas dari perusahaannya, dia akan tinggal selama 1 minggu di kota itu. Selama pembicaraan sepenuhnya dia menujukkan sikap hormat dan santunnya padaku. Aku juga menaruh respek padanya karena sikapnya itu. Dia pinjamkan majalah dan koran bacaannya padaku, dia juga tawarkan makanan atau minuman saat pelayan restoran melewati bangku kami. Kecuali koran dan majalahnya yang lain aku menolak dengan halus. Aku terbiasa hanya minum air mineral saat bepergian begini. Dan untuk makan malam aku rencanakan nanti sekitar jam 10 malam baru aku mau pesan ke restoran. Aku sudah membayangkan steak Argo Lawu yang enak itu untuk makan malamku.

Sesungguhnya aku nggak pernah membanding-bandingkan suamiku dengan lelaki lain, tetapi nggak tahu kenapa kali ini tanpa bisa kuhindarkan aku melakukan itu, mungkin karena waktu yang waktu panjang perjalanan yang membuat aku sempat berpikir macam-macam. Aku perhatikan pria di sampingku ini tampan banget. Wajahnya mengingatkan aku pada bintang film Onky Alexander yang main di film Catatan si Boy itu. Bahkan terus terang sebagai penonton film dan sinetron aku termasuk pengagum tampang Onky itu. Gayanya dalam film yang acuh, santun dan jantan sering aku tempatkan dalam khayalan isengku saat membayangkan macam bagaimana pria idola itu. Walaupun semua itu sama sekali tidak mempengaruhi sikap seriusku sebagai istri yang setia tanpa reserve yang telah lebih dari 20 tahun mendampingi Mas Rudy suamiku. Tetapi kali ini sepertinya pikiranku agak nggak lempang, kenapa?

Dilain pihak pria ini, yang aku perkirakan usianya paling sekitar 30 tahunan atau 8 tahun lebih muda dari aku, memperkenalkan namanya Rendy (ah, kenapa sama-sama menggunakan huruf "R" di depan, "d" di tengah dan "y" dibelakang sebagaimana nama Rudy suamiku). Kalau ngomong dia menatapku sedemikian rupa hingga aku sering merasa kikuk. Bahkan beberapa kali dia demikian mendekatkan wajahnya ke wajahku saat menyampaikan sesuatu, seakan untuk mengimbangi suara gemuruh kereta Argo Lawu yang lari kencang ini. Tetapi aku lebih mengartikan bahwa cara demikian itu sebagai tanda bahwa sebagai seorang pria dia tertarik padaku yang wanita. Dia ingin dekat padaku dan aku dekat padanya. Mau akrab, gitu lah.

Sesungguhnya aku juga nggak begitu heran dengan caranya itu. Banyak lelaki yang juga bersikap demikian padaku. Walaupun usiaku sudah menjelang 38 tahun tetapi penampilanku masih sering menggoda perhatian para lelaki. Dengan kulitku yang putih bersih dan tinggi badanku yang 172 cm dan berat 55 kg, banyak teman-teman di arisan kompleks rumahku mengatakan aku awet muda. Mereka juga bilang aku manis, cantik, sensual, ah, pokoknya macam-macam pujianlah. Dan kalau lagi kelakar di rumah, suamiku juga sering mengatakan bahwa kecantikanku tidak surut oleh usiaku. Mas Rudy selalu bilang bahwa kecantikkanku tidak berubah sejak ketemu 20 tahun yang lalu. Tentu saja aku mensyukuri semua itu. Dan secara fisik memang dengan sadar aku menjaga kesehatan, makanan dan olah raga secara ter-atur. Setidaknya sebulan 4 kali aku perlukan waktu untuk berenang, di mana saja. Aku juga selalu bangun pagi menyertai Mas Rudy untuk lari jogging setiap pagi.

Dalam soal busana aku senang dengan cara berpakaian yang santun. Aku tidak pernah memakai blus yang memperlihatkan belahan dada, atau celah ketiak atau punggung terbuka. Semua busana pilihanku relatip serba tertutup. Dan aku bahkan sangat menyenangi pakaian Jawa yang kain dengan kebayanya, atau baju muslim saat aku menghadiri undangan atau pesta-pesta hajatan keluarga maupun teman. Aku juga menyenangi tampilan alami, hanya sedikit kosmetik. Aku termasuk orang yang mencintai dan yakin dengan "inner beauty".

Gerbong eksekutip Argo Lawu ini dingin AC-nya terasa sangat menggigit. Selimut tebal Argo Lawu yang dibagikan bersama bantal tidak banyak menolong aku. Aku sangat sensitip terhadap dingin macam begini. Kalau aku jalan sama suamiku dia sudah merangkulku memberikan kehangatan. Kini aku menggigil hingga kedengaran gigiku yang menggelutuk beradu. Rupanya Rendy langsung tahu apa yang terjadi pada diriku, dengan penuh spontan dia lepaskan jaketnya dan diserahkannya padaku. Semula aku menolaknya, tetapi dia sudah langsung menutupkan pada tubuhku sambil bilang bahwa dia tidak begitu memerlukannya, dia bilang dingin macam ini nyaman untuk tubuhnya.

Begitu jaket itu menutupi tubuhku yang pertama aku rasakan adalah sedikit kehangatan dan aroma wewangian pria. Seperti wewangian yang terbuat dari rempah-rempah. Tentu saja ada semburat aroma ke-lelaki-an Rendy yang berebut menembus hidungku. Aku merasakan keadaan yang aneh, sepertinya ada lelaki lain yang bukan suamiku sedang memeluk aku. Sekali lagi aku mengkhawatirkan pikiranku yang nggak lempang ini. Rasanya ada yang salah dengan keadaan diriku. Sepertinya sebuah kesetiaan sedang mendapat cobaan. Dan celakanya aku nggak bisa memastikan, aku ini senang atau prihatin dengan apa yang sedang berlangsung ini.

Aku sangat kaget ketika tiba-tiba tangannya menggenggam tanganku, hampir kutarik kalau dia tidak bilang,
"Tangan mbak dingin banget, nih. Mau nggak kalau aku pijat refleksi tangannya, nanti hangat, deh?", ah, dia punya seribu satu alasan yang selalu tepat untuk banyak berbuat padaku. Aku juga nggak tahu, kenapa aku pasrah saja saat tangannya meraih tanganku membawa ke pangkuannya untuk dia pijit-pijit. Dia bilang pijat refleksi. Aduh, aku berteriak tertahan karena kesakitan, tetapi dengan cepat dia bilang dalam bisikkan, bahwa kalau aku merasakan sakit artinya bahwa memang aku sedang sakit. Dia terangkan bahwa yang dia pijat itu adalah tombol-tombol saraf yang berhubungan dengan bagian di tubuhku yang sedang kena sakit. Dia bilang paru-paru dan punggungku sedang tidak normal karena dingin atau mungkin karena lelahnya perjalanan. Dan yang membuatku langsung merinding dan bergetar adalah suara bisikkannya itu. Dalam khayalku se-akan seorang lelaki bukan suamiku sedang membisikkan birahinya ke padaku. Aku menggelinjang kecil, perasaan serupa pernah aku rasakan sudah begitu lama, saat pertama kalinya pacar pertamaku barhasil membawaku ke ranjangnya. Tapi aku masih sepenuhnya sadar untuk jangan sampai segalanya berkembang terlalu jauh,
"Sudah, dik, sudah, terima kasih, aku nggak tahan sakitnya, nih". Kutarik tanganku dan dia lepaskan. Untuk beberapa saat kami saling berdiam diri, walaupun sebentar-sebentar dia menengok ke arahku menunjukkan rasa khawatirnya.

Ternyata yang namanya godaan selalu ada saja. Alergi dinginku membuat aku terbatuk-batuk hingga tubuhku terbungkuk-bungkuk menahan gatalnya tenggorokkanku. Dan dia yang penuh perhatian padaku terasa begitu saja spontan saat memegang kudukku untuk meijat-mijatnya sambil,
"Mbak masuk angin, nih". Aku memang nampak seperti nenek-nenek kronis. Batukku ini benar-benar membuat aku tidak berkutik saat tangannya juga merangkul pundakku sambil terus memijat tengkukku. Ah, kenapa harus begini, sih. Apa yang akan terjadi selanjutnya ..? Kemudian dia lepaskan rangkulannya padaku dan berdiri,
"Sebentar, mbak, ya", dia beranjak jalan, mungkin ingin ke toilet. Tetapi setelah beberapa saat dia muncul lagi dengan segelas teh hangat di tangannya. Ah, orang ini selalu mengambil tindakan yang tepat pada waktu yang tepat. Teh hangat ini memang yang sangat aku butuhkan pada saat-saat seperti ini,
"Wah, dik, anda kok begitu repot, sih, terima kasih banget, ya. Maafkan, aku ini memang nggak tahan dingin. Ya, begini jadinya, mudah-mudahan teh panas dik Rendy akan mengurangi kedinginanku", begitu jawabku saat dia menyodorkan teh panas itu padaku sambil aku memberikan jalan untuk dia duduk kembali ke kursinya. Dan begitu aku me"nyeruput"-nya memang aku langsung merasakan hangatnya teh panas itu mengalir di tenggorokanku dan batuk-batukku seketika jauh berkurang. Ah, nikmatnya. Untung ada Rendy yang penuh perhatian padaku. Ya, begitulah, aku jadi merasa berhutang budi pada dia karena teh panas ini.

Dan ketika sama-sama berada di bawah selimut Argo Lawu tangan Rendi kembali meraih tanganku seakan hendak memeriksa suhu tubuhku aku tidak lagi merasa perlu menghindar. Tangan itu meremasi tanganku dan diluar kesadaranku, refleks tanganku membalas remasannya. Aku sendiri kaget dengan reaksi refleks tanganku itu, tetapi sudah terlambat untuk begitu saja menghentikannya. Apalagi nampaknya Rendy jadi demikian antusias dengan balasan remasan tanganku. Akhirnya aku, mau tidak mau dan tidak ada pilihan lain lagi, mencoba menikmati apa yang sedang berlangsung ini. Juga saat tangan lainnya kembali meraih pundakku dan menariknya agar bersandar ke pundaknya untuk mendapatkan kehangatan yang lebih aku benar-benar tak mampu menghindar lagi. Dan remasan Rendy aku rasakan semakin "intens" saat dia juga mengeluarkan bisikannya,
"Mbak, tangan mbak lembut banget, ya. Halus sekali. Dan mbak juga halus sekali. Mbak cantik sekali". Rupanya dia sudah tak bisa kuhentikan lagi. Rendy sudah memasuki tahap "batas tidak wajar" yang serius, sementara aku merasa mulai memasuki tahap terjebak "batas tidak wajar" yang sulit aku hindari. Toh, aku masih mencoba bertahan,
"Ingat dik Rendy, aku sudah bersuami. Dan aku sangat mencintai suami dan anak-anakku tak kurang suatu apapun",
"Saya tak akan mengganggu kebahagiaan mbak, kok. Saya hanya mengucapkan apa yang secara nyata aku hadapi terhadap mbak. Mbak sungguh cantik sekali", dia mencoba bertahan dengan diplomasi cinta gombalnya, sementara remasan tangannya terkadang berubah menjadi elusan di punggung dan telapak tanganku dan walaupun aku tidak begitu menunjukkan semangat membalasnya aku tak pernah lagi berusaha menghindarinya, kecuali jantungku yang deg-deg-an semakin menahan gejolak "batas tidak wajar" lembutku.

Jam menunjukkan pukul 3 dini hari, aku lihat sepintas tadi kereta malamku telah melintasi stasiun Kroya. Apabila tidak ada hambatan kereta ini akan memasuki stasiun Balapan Solo pada jam 5.30 pagi. Rendy tertidur, tetapi aku nggak yakin kalau bisa tidur beneran. Dia bergerak terus, nampaknya ada kegelisahan. Aku pastikan dia sedang memikirkan bagaimana bisa membuka kembali omongan denganku.

Aku akui, sesungguhnya aku menikmati remasan-remasan tangannya tadi. Dan aku akui juga sesungguhnya aku hampir bobol pertahanan "batas wajar"-ku tadi. Tetapi kini aku merasa lebih tegar untuk tidak begitu saja merontokkan harga diriku padanya. Tiba-tiba dia melek, menatap aku dan kembali meraih tanganku yang sama-sama di bawah selimut Argo Lawu itu,
"Ah, tangan mbak sudah normal, nih, nggak kedinginan lagi, ya", dia membuka omongan dan aku menarik ingin tanganku saat dia menyambung bicaranya,
"Mbak kalau.. Eehh.. kalau saya minta tolong, mbak mau menolong saya?", aku dengar suaranya sedikit berubah tekanannya dan terbata, sepertinya suara seorang kompromis. Aku merasa memegang kartu tawarku, rasanya "bargenning position" ada padaku,
"Apa, dik. Kalau aku bisa menolong..?", kata-kataku tidak selesai ketika tiba-tiba dia merenggut tanganku dan dipaksanya menggenggam .. ah, sangat aku tidak duga kalau hal seperti ini akan dia lakukan padaku.., dia paksa agar aku menggenggam ******nya yang nggak tahu sejak kapan dia keluarkan dari celananya, telah berdiri ngaceng tegang di bawah selimut Argo Lawunya.

Sebetulnya aku amat tersinggung dan terhina pada ulah Rendy ini, tetapi nggak tahu kenapa aku tiba-tiba serasa ditimpa dan ditampar sebuah sensasi yang hebat saat tanganku dia paksakan menggenggam sesuatu yang sangat luar biasa bagiku. Tanganku merasakan ****** Rendy itu sangat hangat, gede dan panjang. Sepertinya aku terpukau oleh sihir gedenya ****** Rendy ini. Untung reflek bertahanku masih menampakkan penolakkan dengan berusaha menarik dari cengkeraman tangannya. Hanya akhirnya karena kekuatan yang tidak seimbang, dia membuat aku tidak berkutik,
"Tolong, mbak, sebentar saja, saya bener-bener tidak bisa menahan nafsu birahiku, tolong mbak, biar aku terlepas dari siksaanku ini, tolon..ng..", dia menghiba dalam berbisik dan aku semakin tertelikung oleh kekuatan tangannya dan sekaligus sihir nafsu birahiku yang tak mampu menghadapi sensasi penuh pesona ****** gede dari lelaki yang sangat ngganteng mirip Onky Alexander ini.

Dia kembali bisikkan ke telingaku,
"Kocok, mbak, aku pengin keluar cepet, nih", sambil dia pegang tanganku untuk menuntun kocokkannya. Dan aku sudah mengambil keputusan yang sangat berbeda dengan ketegaran awalku tadi. Aku merasa telah dikalahkan oleh suatu kondisi. Aku merasa dia telah memperkosa aku. Memaksa sesuatu demi mengejar kepuasan seksual apapun bentuknya adalah sebuah pemerkosaan. Dia telah memperkosa tanganku. Dan sebagaimana pemerkosaan di manapun juga, para korbannya malu untuk berteriak karena malu ketahuan kalau dirinya diperkosa orang. Bukan sekedar malu tetapi juga takut, bayangkan kalau di antara para penumpang ada yang wartawan koran "kuning" ibu kota, terus besoknya keluar head line "Seorang Ibu Diperkosa dalam Kereta Malam Argo Lawu", dan suamiku serta anak-anakku membacanya, dengan kemungkinan fotoku sebagai korban pemerkosaan ikut terpampang di head line tadi. Uh, mau disembunyikan kemana mukaku. Jadi keputusanku yaa.., aku layani sajalah apa maunya..

Telah beberapa saat dia mendesah dan merintih lirih, tetapi belum juga ejakulasinya datang. Bahkan kini aku sendiri mulai terjebak dalam kisaran arus birahi sejak tangannya juga merabai payudaraku dan memainkan putting susuku. Aku terbawa mendesah dan merintih pelan dan tertahan. Aku mengalami keadaan ekstase birahi. Mataku tertutup, khayalanku mengembara, aku bayangkan alangkah nikmatnya apabila ****** segede ini meruyak ke kemaluanku. Ah, alangkah nikmatnya.., nikmat sekali .., nikmat sekali..,
"Ayooo, dik, aku sudah cape, nih, keluarin cepeeettt..",
Dia tersenyum, "Susah, mbak, kecualii..",
"Apaan lagi?",
"Kalau mbak mau menciumi dan mengisepnya", gila. Dia sudah gila. Beraninya dia bilang begitu padaku. Tt.. tet.. ttapi .. mungkin aku kini yang lebih gila lagi. Aa.. aak.. ku mengangguk saat matanya melihat mataku. Sesungguhnya sejak tadi saat tanganku menggapai ******nya kemudian merasakan betapa keras, panjang dan besarnya aku sudah demikian terhanyut untuk selekasnya bisa menyaksikan betapa mentakjubkan ****** segede itu. Aku sudah demikian tergiring untuk selekasnya mencium betapa harumnya aroma ****** segede itu, betapa lidahkupun ingin merasakan bagaimana seandainya aku berkesempatan melumat-lumat ****** si ganteng Onky ini. Dan kini rasanya yang sangat berharap untuk mengisep-isep itu bukan dia tetapi aku kini yang kehausan dan ingin sekali menciumi dan mengisep ****** Onky Alexander-ku ini.

Cahaya lampu Argo Lawu yang memang diredupkan untuk memberi kesempatan para penumpang bisa tidur nyenyak sangat membantu apa yang sedang berlangsung di kursi 14 C dan D ini. Seakan-akan aku tidur di pangkuan suamiku, aku bergerak telungkup menyusup ke dalam selimutnya. Gelap, tetapi bibirku langsung menyentuh kemudian mencaplok ****** gede idamanku itu. Aku sudah menjadi hewan. Nafsuku nafsu hewaniah. Aku tidak lagi memikirkain nilai-nilai kesetiaan dan sembarang nilai lainnya. Aku sudah masa bodo. Nafsuku sudah menjerat aku. Aku mulai mengkulum ****** gede itu, lidahku bermain dan aku mulai memompakan mulutku ke ****** Rendy. Huuuhh, aroma ******nyaaa.., sungguh aku langsung terhanyut dan bergelegak. Aku mengharapkan sperma dan air mani Rendy cepat muncrat ke mulutku. Aku biasa menelan sperma suamiku, sehingga kini aku juga merasa biasa saja kalau ****** ini akhirnya akan memuncratkan spermanya dan aku pasti menelannya.

Entah bagaimana tampaknya dari luar, selimut Argo Lawu punya di arah selangkangan Rendy pasti akan naik turun bak gelombang laut selatan yang ganas itu. Aku yakin Rendy sudah memikirkan kemungkinan untuk tidak sampai menjadi perhatian penumpang lainnya. Aku sendiri akhirnya demikian masa bodoh. Aku yang sudah demikian larut dalam kenikmatan yang tak mudah kutemui di tempat lain ini terus hanyut dalam keasyikan birahi dengan ****** dalam jilatan dan kulumanku. Aku merem melek setiap lidahku menjulur dan menariknya kembali. Rasa asin precum Rendy demikian aku rindukan dan nikmati sepenuh perasaan dan gelinjang nafsuku.
Aroma jembut tebal Rendy sangat memabukkanku. Dalam ruangan selimut yang demikian sempit itu aroma kelelakian Rendy demikian menggumpal merasuki hidungku. Sementara tangan Rendy sendiri kurasakan aktif mengelusi di arah rambutku, terkadang juga turun hingga ke pantatku. Aku menggelinjang tertahan dalam tempat yang serba terbatas ini.

Kini yang kurasakan adalah kehausan yang amat sangat. Aku ingin minum. Aku ingin secepatnya air mani Rendy muncrat dari ******nya ini. Aku sangat haus untuk segera meminum sperma panasnya. Aku lumat-lumat sepenuh perasaanku dengan harapan bisa secepatnya merangsang Rendy untuk melepaskan spermanya. ****** itu kuperosokkan dalam-dalam kemulutku hingga menyentuh tenggorokkanku. Aku mengerang, mendesah sambil bergumam meracau. Tanganku juga ikut mengelusi batangnya kekar dan keras itu. Sesekali lidah dan bibirku menjilati batangnya hingga ke pangkal dan bijih pelernya.

Benar, tidak sampai 5 menit sebuah kedutan yang sangat keras mengejut dalam mulutku diikuti pancaran panas air mani Rendy. Kedutan-kedutan selanjutnya membuat mulutku penuh oleh cairan lendir panas itu. Aku buru-buru menelannya agar tidak tercecer. Sayang, khan.

"Terima kasih, ya mbak", katanya sambil membetulkan celananya dan menarik tutup resluitingnya. Dia sama sekali nggak memperhitungkan factor aku. Mestinya dia memikirkan bahwa akupun butuh penyaluran sesudah dia giring aku ke lembah birahi tak terkendali hinga aku kini merasakan harus tuntas melalui orgasmeku. Dilain pihak, waktu juga sudah mengejar, mungkin sekita 20 menit lagi kereta akan sampai ke tujuan. Dengan perasaan yang sangat menggantung aku kembali duduk manis, seakan tidak ada sesuatu yang pernah terjadi. Aku lihat para penumpang lain masih nyenyak dalam mimpi mereka.

Anehnya, sesudah itu Rendy nampak tak acuh padaku. Jangan-jangan karena maksudnya sudah kesampaian. Artinya sejak awal tadi dia banyak memperhatikan aku semata kerena didorong oleh kehendak bvirahinya. Kurang ajar kamu, Rendi. Aku juga menjadi dongkol, marah dan masa bodo padanya. Aku merasa dihinakan dan direndahkan. Aku berfikir mungkin karena aku sudah tua. Ah, memang aku sudah tua. Aku yang sudah tua dan tidak tahu diri.

Saat kereta nyampai dia menyambar tas ranselnya dan mendahului aku turun. Mbak, saya duluan ya, katanya kering tanpa sedikitpun keinginan untuk membantu aku bawa tas, kek, koper, kek, tahu bahwa bawaanku cukup ribet begini. Dasar sudah tua ngak tahu diri, begitu pikirku pada diriku sendiri.

Untung Suryo cepat muncul, dia mencium tanganku dengan penuh hormat dan takzim. Aku yang menerima ciuman hormat dan takzim anakku kembali merasa malu, aku adalah orang tua yang nggak tahu diri, hina, memalukan ah.. macam-macam yang serba jeleklah. Nilaiku kini tidak setinggi nilai saat aku berangkat diantar suamiku kemarin sore. Yang harus aku usahakan kini adalah mengembalikan rasa percaya diriku.

TETANGGA

Sehabis menikah aku langsung mengikuti suami tinggal di Ibu Kota, Jakarta. Sebagai pegawai negeri suamiku hanya bisa kontrak rumah petak untuk tempat kami berteduh dan seseorang memiliki alamat untuk pulang. Sangat beda rasanya rumah di kota asalku Salatiga dimana hubungan antar manusia masih demikian kental dan saling manusia memanusiakan antara satu terhadap yang lain. Sementara di Jakarta yang aku rasakan pertemuan antar manusia semata-mata lebih didorong oleh adanya kebutuhan duniawi. Hubungan akan berarti baik apabila seseorang bisa memberikan manfaat dunia lebih besar dari yang lain. Di Jakarta orang lebih berhitung pada masalah jumlah dengan mengorbankan mutu. Kalau aku bisa memberi lebih banyak dari yang lain berarti aku lebih baik dari yang lain, dan pantas menerima sikap hormat yang lebih tinggi dari yang lain.

Demikianlah suamiku yang dosen Universitas Negeri yang notabene pegawai negeri dengan embel-embel Ir. di depan namanya plus MM di belakangnya tidak mampu meraih penampilan dan nilai yang layak di tengah masyarakat di sekitarku. Keluarga Mas Tondy yang penjaga gudang di daerah Cakung yang mengkontrak petak di sebelah kananku rumahku lebih memiliki nilai karena tampilan dunianya jauh lebih dari tampilan kami. Itulah kenyataan metropolitan yang hingar bingar dan gegap gempita ini.

Kebutuhan MCK (mandi, cuci dan kakus) kami berhimpitan hanya dibatasi oleh selembar gedek yang rawan bolong-bolong. Hanya sikap morallah yang membatasi kami dalam arti yang lebih jauh. Bagi kami, khususnya bagi aku dan dik Narti istri Mas Tondy tetangga sebelah, sumur adalah segala-galanya. Hampir 90% waktu kami habiskan di seputar sumur dan MCK-nya itu. Suami kami masing-masing sibuk dengan pekerjaannya. Bedanya kalau suamiku, Mas Naryo, seharian siang dia nggak ada di rumah, sementara kalau dik Narti seharian malamnya suaminya jaga gudang di Cakung.

Antara para suami kami praktis jarang jumpa berpapasan karena waktu kesibukkannya yang saling terbalik. Sementara kami para istri juga kesibukan melayani suaminya jatuh pada waktu yang berbeda pula. Sebagai suami istri muda, dik Narti baru keluar dari kamarnya menuju ke sumur baru sekitar jam 11 siang. Tentu dia harus siap melayani berbagai kebutuhan suaminya yang baru pulang setiap jam 6 pagi itu. Dan aku sendiri sebagaimana yang lain bercengkerama dengan suamiku pada malam harinya sepulang dari pekerjaannya. Kemungkinan penyimpangan hanya terjadi pada saat-saat tertentu, misalnya salah satu dari pasangan di antara kami ada yang sakit atau bepergian atau karena sebab yang lain. Suasana seperti itu juga terjadi di keluarga tetangga sekitar kami. Pada pagi hari rata-rata sepi. Anak-anak mereka pergi kesekolah dan para suami hampir seharian penuh mencari sandang pangan.

Telah 5 hari dik Narti pulang ke desanya dengan maksud menjemput adiknya untuk diajak membantu di Jakarta. Ku lihat Mas Tondy menyiapkan sendiri segala kebutuhan sehari-harinya yang mulai dia lakukan sekitar jam 10 atau 11 pagi, seusai tidur sepulang jaga malam. Dia mencuci pakaiannnya, membersihkan rumah, mencuci perabot dapur dan sebagainya. Mau tidak mau aku sering berpapasan di seputar sumur yang memang kami pakai berdua keluarga. Walaupun begitu kami jarang saling bicara. Aku lebih senang begitu. Aku takut omongan tetangga yang gampang usil. Mas Tondy hampir seharian selalu berpakaian minimum dengan alasan udara Jakarta yang panas. Tanpa "ewuh pekewuh" dia selalu hanya bercelana pendek dan melepas bajunya. Aku suka mencuri pandang. Postur tubuhnya yang cukup tinggi nampak kekar berotot, sesuatu hal yang memang diperlukan untuk tugas semacam penjaga gudang dan semacamnya.

Pagi itu aku sedang masak di dapurku yang sempit. Panasnya udara Jakarta memaksa aku sendiri mondar-mandir di dapur dan sumur hanya menggunakan kutang dan kain yang kuikatkan se-enaknya ketika tiba-tiba Mas Tondy muncul di pintu.

"Mbakyu Larsih, aku mau minta tolong sedikit, nih", sambil terus nyelonong memasuki rumahku. Aku kaget, mau apa dia. Kulihat wajahnya kemerahan dengan matanya yang seperti kucing lapar melihat ikan asin menatap mataku. Aku merasakan sesuatu yang nggak begitu enak. Adakah yang sangat penting sehingga dia harus masuk ke rumahku tanpa permisi lebih dahulu? Antara khawatir dan ingin menolong tetanga aku bangun berdiri mengikuti langkahnya,
"Ada apa, Mas Tondy?", aku melihat matanya yang semakin menakutkanku,
"Jangan marah, ya Mbak. Masalahnya aku bener-bener nggak tahan, nih. Dik Narti khan sudah 5 hari pulang kampung. Aa.. kkuu.., mm.. maaf.., ya, mBak, tadi pagi saat pulang jaga malam aku mendengar mBak dan Mas Naryo masih ada di kamar sedang asyik masyuk". Deg, hatiku. Kenapa Mas Tondy teganya ngomong begitu padaku. Aku nggak sempat berpikir lebih jauh saat dengan serta merta dia meraih tubuhku dengan tangannya yang kuat membungkam mulutku kemudian beringsut merebahkan aku ke kasur kamarku yang memang hanya terpisah oleh dinding gedek dapurku. Dengan sigapnya dia jejalkan gombal dari kantongnya ke mulutku yang aku rasa telah dia siapkan sebelumnya. Kemudian dengan kekuatan ototnya ditelikungnya tanganku untuk dia ikatkan ke ranjangku. Aku langsung dilanda ketakutan yang amat sangat. Aku ingat suamiku, ingat sanak keluargaku. Mungkinkan Mas Tondy mau membunuhku? Tetapi justru ketakutanku itulah yang membuat aku lemas dan langsung menyerah.

"mBak Larsih nggak usah takut, aku nggak akan nyakitin mBak, kok. Aku hanya perlu sebentar saja. Aku sudah pengin banget, nih. Tadi pagi saat Mas Naryo menyetubuhi mBak Larsih aku ngintip dari balik dinding", dia berbisik dengan tajam ke telingaku untuk meyakinkan bahwa aku nggak akan disakitinya,
"Aku nggak tahan, mBak, tolongin aku, Mbak..", dia langsung merangsek buah dadaku dengan buasnya. Aku melawan karena hal semacam ini tak pernah sama sekali terbit dalam pikiranku dan bayanganku.

"Aku nggak tahan bener, mBak.. Tolongin aku, mBak..", kini ketiakku dia ruyaki sambil menyedoti dan menciumi habis-habisan. Dengan tanganku yang terikat sisa tenagaku sama sekali nggak sebanding dengan penjaga gudang berotot ini. Dengan kasar penuh nafsu kain penutup tubuhku dia tarik dan lepasi dengan mudahnya. Tangannya yang kasar dan kokoh itu langsung mengelus-elusi pahaku. Kemudian dengan cepat juga jari-jarinya menyeruak kekemaluanku. Aduh, nggak pernah terpikir olehku akan ada lelaki selain suamiku yang menyentuh barang kehormatanku ini. Aku tidak begitu saja bisa menerima kenyatan ini. Aku menangis pilu walaupun hanya air mataku saja yang menampakkan tangisku. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku sebagai tanda penolakanku akan perbuatan Mas Tondy ini. Aku anggap dia sudah berlaku sangat tidak menghormati aku, suamiku, keluargaku. Aku sangat takut akan aib yang akn menimpa kami.

Tetapi Mas Tondy terus membisiki aku,
"Tenang mBak Larsih, nggak apa-apa. Jangan takut, nggak ada yang bakalan tahu. Hanya kita berdua saja yang tahu. Aku berjanji untuk seumur hidupku hanya akan menjadi rahasia kita berdua saja". Benarkah? Penjaga gudang ini ternyata memang lihay. Benar atau tidak kata-katanya itu ternyata mampu memberikan aku kesejukkan, setidak-tidaknya melerai rasa takutku akan kemungkinan dia melukai atau menyakiti tubuhmu. Seakan aku memiliki pilihan, melawan dengan risiko dia akan bertindak brutal dengan menyakiti aku atau menyerah pasrah dengan risiko aku harus mengikuti dan memenuhi permintaannya. Dan menyadari akan keterbatasanku saat ini pilihan kedua akan memberikan padaku keselamatan fisikku. Hal-hal lain soal nantilah, yang penting aku selamat lebih dahulu.

Kini aku mulai merasakan secara rinci apa yang sedang dan kemungkinan akan dia lakukan padaku. Jari-jarinya yang terus menari-nari di kemaluanku terasa sangat menggelikan saraf-saraf peka birahimu. Aku mulai merasakan kenikmatan. Aku merasakan jari-jari Mas Tondy sangat pintar membangkitkan kehausan birahiku.

Melihat aku bersikap menyerah dan pasrah dia semakin ganas melumati ketiak yang kemudian melata bergeser ke leherku kemudian juga ke tepian kupingku.
"mBak Larsih, mBak sangat cantik sekali. Aku tadi pagi mengintip mBak yang sedang digauli Mas Naryo, oh, mBak.., aku nggak tahan melihat wajah mBak yang menggelinjang menerima kenikmatan dari Mas Naryo. Sekarang mBak mesti nyobain kenikmatan dari aku, ya, mBak?".
Kemudian dengan pelan tetapi pasti Mas Tondy membelah selangkanganku. Dia menempatkan tubuhnya tepat di antara selangkanganku. Dan dengan sekejab aku merasakan sesuatu yang hangat panas mendesak-desaki kemaluanku. Aku sudah tahu, itu ******nya.

Rasa pasrah dan menyerahku hanya memberikan aku satu pilihan, nikmatilah. Dan aku mencoba mencari kenikmatannya. Saat Mas Tondy terus mendesakkan ******nya dengan cara mendorong menaik-turunkan tubuhnya memompakan ******nya ke kemaluanku dengan refleks yang aku miliki aku menjemputinya.

Aku memutar-mutar bokongku kemudian menaik turunkannya untuk menjemput ******nya. Aku merasa mulai gatal di lubang vaginaku. Aku merasakan mulai mengalirnya cairan birahiku. Dan itu juga langsung diketahui oleh Mas Tondy yang semakin cepat dan keras mendesakkan ******nya ke kemaluanku.

Dan tanpa ayal lagi, akhirnya seluruh batangan ****** Mas Tondy tenggelam dilahap kemaluanku. Hoohhh.., aku tidak menduga bahwa aku akan mendapatkan kenikmatan yang sangat luar biasa di pagi hari ini. ****** Mas Tondi yang berada dalam terkaman nonokku keluar masuk menggelitiki dinding-dinding peka vaginaku. Aku menggelinjang, mendesah dan merintih lirih. Aku ikut memompa mengimbamgi pompaan Mas Tondy.

Mas Tondy menatapku sesaat sementara ******nya terus memompa memekku. Kemudian dia lepaskan sumpal mulutku untuk selanjutnya dia daratkan bibirnya ke bibirku. Kami saling melumat. Aku merasa sangat kehausan. Lepas dari sumpal itu sungguh melegakan. Dan kini sikapku adalah ingin memberikan sepenuhnya kepuasan kepada Mas Tondy. Aku sudah memasuki gerbang nafsuku sendiri. Aku juga ingin meraih madunya paksaan dan pemerkosaan dia atasku. Aku melumat habis-habisan mulutnya. Aku hisap-hisap lidahnya, aku sedoti ludahnya. Aku mengerang dan meracau,
"Mas Tondy, maafin aku, ya.., aku tadi takut banget.., Mas Tondy, uuhhh.. ******mu ennaakk banget.. Mas Tondy, maafin mBak Larsih, ya.. Mas Tondiii.. teruszzhh.. ennhhaakk bangettt..", dan Tondy terus memompakan ******nya ke memekku dengan mantab sekali. Kami telah meraih irama persanggamaan bersama. Kami sedang mengejar kepuasan puncak dari persanggamaan ini.

Akhirnya tali yang mengikat tangankupun dilepaskannya. Kini tak ada lagi pemerkosaan. Yang ada adalah kesepakatan bersama untuk meraih puncak nikmat birahi. Keringat mulai membanjir dari tubuh-tubuh kami. Mas Tondy menggenjot dan aku menjemput. Kakiku kunaikkan ke pundaknya hingga ****** Mas Tondy terasa mentok menyentuh rahimku. Nikmat yang kurasakan sungguh luar biasa. Dari penyebab awalnya dimana norma sopan dan adab tak lagi dijadikan batasan membuat aku juga bisa berlaku saenakku, kini kurenggut kepala Mas Tondy. Kudekatkan ke wajahku dan kuenyoti bibirnya sambil kujambaki rambutnya. Nonokku yang gatalnya semakin nggak ketulungan membuat aku jadi buas, binal dan liar tidak sebagaimana saat aku bersanggama dengan suamiku selama ini.

Aku menggelinjang-gelinjang dengan sangat hebatnya. Aku berteriak histeris tertahan sebagai wujud pelampiasan nafsu birahiku yang tak terkendali ini. Aku ingin dipuaskan sejadi-jadinya. Aku berguling. Dengan rambutku yang telah lepas terurai dari ikatannya dan dengan keringat yang semakin membasah mengucur dari tubuhku aku tumpakin tubuh Mas Tondy. Aku desakkan habis-habisan nonokku ke ******nya untuk menggaruk lebih keras kegatalan di dalamnya. Aku sangat gelisah dan resah menunggu hadirnya orgasmeku. Setiap kali aku mendongak dan menyibakkan rambutku kemudian kembali menunduk histeris. Tangan-tanganku mencekal gumpalan dada Mas Tondy hingga kuku-kukuku menancap dalam ke dagingnya. Rasa gatal yang sangat mendesaki nonokku, aku tahu bahwa tak akan lama cairan birahiku akan tumpah ruah. Aku sudah demikian lupa diriku.

Akhirnya kami sama-sama mencapai kepuasan puncak kami. Cairan hangat yang menyemprot dari ****** Mas Tondy ke dalam nonokku langsung disambut dengan muntahan berlimpah cairan birahi nonokku. Aku langsung tersungkur sementara kedutan-kedutan ****** Mas Tondy belum sepenuhnya usai.

Aku masih melamun dalam penyesalan saat Mas Tondy bangkit dari ranjangku. Dia mencium keningku dan berlalu. Kudengar bisikan terima kasih dari bibirnya. Saat aku ingin sekali lagi menangkap untuk mengecupnya dia telah hilang di balik pintu.

Siang itu aku tidak masak. Rasa penat disekujur tubuhku membuat aku bermalasan sepanjang hari itu. Saat Mas Naryo pulang kulihat dia membawa bungkusan plastik di tangannya. Dia membawa mie goreng dan puyunghai kesukaanku. Seakan aku melupakan apa yang telah terjadi siang tadi kini aku duduk makan bersama suamiku dengan perasaan penuh galau. Pada Mas Naryo aku sampaikan keinginanku untuk beberapa waktu aku pulang mudik. Aku bilang sudah kangen sama sanak famili di Salatiga. Mas Naryo menatap aku, menatap mataku. Dia berusaha membaca relung hatiku. Dia setuju aku pulang. Dia menyadari bahwa aku masih dalam proses adaptasi dalam menyelami kehidupan Jakarta. Dia akan menjemputku saat kembali ke Jakarta nanti.

Rupanya permintaanku pulang dia sambut dengan sebuah rencana yang memberikan kejutan bagiku. Sesudah barang tiga minggu dengan penuh rindu aku menunggu jemputan Mas Naryo, dia menelponku. Dia bilang bahwa tidak bisa datang menjemputku karena kesibukkan di kampusnya. Tetapi dia telah mengirimkan 5 lembar tiket Garuda yang bisa aku ambil di kantor Garuda Semarang. Dia minta supaya aku mengajak serta kedua orang tuaku dan 2 orang adikku yang sedang liburan sekolah. Sesuai dengan hari yang ditetapkan Mas Naryo menjemputku di bandara Sukarno Hatta dengan sebuah Kijang baru. Aku heran ternyata Mas Naryo bisa menyopir mobil sendiri.

Dan kejutan yang paling hebat dari Mas Naryo adalah saat mobil Kijang ini tidak meluncur ke rumah yang kukenal sebagai rumah kami selama ini. Melalui jalan tol Jagorawi Mas Naryo membawa mobilnya ke kompleks perumahan dosen di Cibubur. Kami memasuki rumah baru kami yang besar dan luas. Segala barang-barang dari rumah lama telah dipindahkan seluruhnya ke rumah baru ini. Aku melihat bagaimana orang tuaku dan adik-adikku menyambut gembira atas limpahan rejeki dan rahmat kepada kami. Di depan mereka Mas Naryo merangkul aku dan mencium pipiku yang kusambut dengan sepenuh hangat hatiku. Aku membulatkan tekadku untuk sepenuhnya mengabdi dan mendukung segala usaha dan karier Mas Naryo suamiku.




Akal-akalan
Saya seorang pemain bola di kesebelasan tempat tinggal saya. Karena terjadi tabrakan dengan teman, kaki saya mengalami patah tulang ringan. Dan saya harus dirawat di rumah sakit. Saya berada di kamar kelas VIP. Jadi saya bebas untuk melakukan apa saja. Saya sebetulnya sudah sehat, tetapi masih belum boleh meninggalkan rumah sakit. Makanya saya bosan tinggal disitu.

Pada pagi hari ketika saya sedang tidur, saya terkejut pada saat dibangunkan oleh seorang suster. Gila..! Suster yang satu ini cantik sekali.
"Mas Sony udah bangun ya..? Gimana tadi malam, mimpi indah..?" katanya.
"Ya Sus, indah sekali. Saya lagi bercinta dengan cewek cantik berbaju putih Sus..? Dan mukanya mirip Suster lho..!" kata saya menggodanya.
"Ah.. Mas Sony ini bisa aja.., habis ini mas mandi ya..?" katanya lembut.
Lalu dia membawa handuk kecil, sabun, wash lap, dan ember kecil. Suster itu mulai menyingkap selimut yang saya pakai, serta melipatnya di dekat kaki saya. Terbuka sudah seluruh tubuh telanjang saya. Saya dengan sengaja tadi melepaskan semua baju dan celana saya. Ketika dia melihat daerah di sekitar kemalua saya, terkejut dia, karena ukuran kelamin saya serta kepalanya yang di luar normal. Sangat besar, mirip helm tentara NAZI dulu.

Lalu dia mengambil wash lap dan sabun.
"Sus... jangan pake wash lap.., geli... saya nggak biasa. Pakai tangan suster yang indah itu saja..." kata saya memancingnya.
Suster itu mulai dengan tanganku. Dibasuh dan disabuninya seluruh tangan saya. Usapannya lembut sekali. Sambil dimandikan, saya pandangi wajahnya, dadanya, cukup besar juga kalau saya lihat. Orangnya putih mulus, tangannya lembut. Selesai dengan yang kiri, sekarang ganti tangan kanan. Dan seterusnya ke leher dan dada. Terus diusapnya tubuh saya, sapuan telapak tangannya lembut sekali saya rasakan, dan tidak terasa saya memejamkan mata untuk lebih menikmati sentuhannya.

Sampai juga akhirnya pada batang kejantanan saya, dipegangnya dengan lembut ditambah sabun. Digosok batangnya, biji kembarnya, kembali ke batangnya. Saya merasa tidak kuat untuk menahan supaya tetap lemas. Akhirnya batang kemaluan saya berdiri juga. Pertama setengah tiang, lama-lama akhirnya penuh juga dia berdiri keras.
Dia bersihkan juga sekitar kepala meriam saya sambil berkata lirih, "Ini kepalanya besar sekali mas... baru kali ini saya lihat kaya gini besarnya. Dikasih makan apa sih koq bisa gini mas..?" katanya manja.

"Sus... enak dimandiin gini..." kata saya memancing.
Dia diam saja, tetapi yang jelas dia mulai mengocok dan memainkan batang kemaluan saya. Sepertinya dia suka dengan ukurannya yang menakjubkan.
"Enak Mas Sony... kalo diginikan..?" tanyanya dengan lirikan nakal.
"Ssshh... iya terusin ahhh... sus... sampai keluar..." kata saya sambil menahan rasa nikmat yang tidak terkira.
Tangan kirinya mengambil air dan membilas batang kejantanan saya yang sudah menegang itu, kemudian disekanya dengan tangan kanannya. Kenapa kok diseka pikir saya. Tetapi saya diam saja, mengikuti apa yang mau dia lakukan, pokoknya jangan berhenti sampai disini saja. Bisa-bisa saya pusing nantinya menahan nafsu yang tidak tersalurkan.

Lalu dia dekatkan kepalanya, dan dijulurkan lidahnya. Kepala batang kejantanan saya dijilatinya perlahan. Lidahnya mengitari kepala senjata meriam saya. Semilyard dollar... rasanya... wow... enak sekali. Lalu dikulumnya batang kejantanan saya. Saya melihat mulutnya sampai penuh rasanya, tetapi belum seluruhnya tenggelam di dalam mulutnya yang mungil. Bibirnya yang tipis terayun keluar masuk saat menghisap maju mundur.

Lama juga saya dikulumi suster jaga ini, sampai akhirnya saya sudah tidak tahan lagi, dan, "Crooott... crooott..." nikmat sekali.
Sperma saya tumpah di dalam rongga mulutnya dan ditelannya habis. Sisa pada ujung batang kemaluan pun dijilat serta dihisapnya habis.
"Sudah ya Mas, sekarang dilanjutkan mandinya ya..?" kata suster itu, dan dia melanjutkan memandikan kaki kiri saya setelah sebelumnya mencuci bersih batang kejantanan saya.
Badan saya dibalikkannya dan dimandikan pula sisi belakang badan terutama punggung saya.

Selesai acara mandi.
"Nanti malam saya ke sini lagi, boleh khan Mas..?" katanya sambil membereskan barang-barangnya.
Saya tidak bisa menjawab dan hanya tersenyum kepadanya. Saya serasa melayang dan tidak percaya hal ini bisa terjadi. Terakhir sebelum keluar kamar dia sempat mencium bibir saya. Hangat sekali.
"Nanti malam saya kasih yang lebih hebat." begitu katanya seraya meninggalkan kamar saya.

Saya pun berusaha untuk tidur. Nikmat sekali apa yang telah saya alami sore ini. Sambil memikirkan apa yang akan saya dapatkan nanti malam, saya pun tertidur lelap sekali. Tiba-tiba saya dibangunkan oleh suster yang tadi lagi. Tetapi saya belum sempat menanyakan namanya. Baru setelah dia mau keluar kamar selesai meletakkan makanan dan membangunkan saya, dia memberitahukan namanya, rupanya Vina. Cara dia membangunkan saya cukup aneh. Rasanya suster dimanapun tidak akan melakukan dengan cara ini. Dia sempat meremas-remas batang kemaluan saya sambil digosoknya dengan lembut, dan hal itu membuat saya terbangun dari tidur. Langsung saya selesaikan makan saya dengan susah payah. Akhirnya selesai juga. Lalu saya tekan bel.

Tidak lama kemudian datang suster yang lain, saya meminta dia untuk menyalakan TV di atas dan mengangkat makanan saya. Saya nonton acara-acara TV yang membosankan dan juga semua berita yang ditayangkan tanpa konsentrasi sedikit pun.

Sekitar jam 9 malam, suster Vita datang untuk mengobati luka saya, dan dia harus membuka selimut saya lagi. Pada saat dia melihat alat kelamin saya, dia takjub.
"Ngga salah apa yang diomongkan temen-temen di ruang jaga..!" demikian komentarnya.
"Kenapa emangnya Sus..?" tanya saya keheranan.
"Oo... itu tadi teman-teman bilang kalau punya mas besar sekali kepalanya." jawabnya.
Setelah selesai dengan mengobati luka saya, dan dia akan meninggalkan ruangan. Tetapi dia sempat membetulkan selimut saya, dia sempatkan mengelus kepala batang kejantanan saya.

"Hmmm... gimana ya rasanya..?" manjanya.
Dan saya hanya bisa tersenyum saja. Wah suster di sini gila semua ya pikirku. Jam 22:00, kira-kira saya baru mulai tertidur. Saya mimpi indah sekali di dalam tidur saya karena sebelum tidur tadi otak saya sempat berpikir hal-hal yang jorok. Saya merasakan hangat sekali pada bagian selangkangan, tepatnya pada bagian batang kemaluan saya, sampai saya jadi terbangun. Ternyata suster Vina sedang menghisap senjata saya. Dengan bermalas-malasan, saya menikmati terus hisapannya. Saya mulai ikut aktif dengan meraba dadanya. Suatu lokasi yang saya anggap paling dekat dengan jangkauan tangan saya.

Saya buka kancing atasnya, lalu meraba dadanya di balik BH hitamnya. Terus saya mendapati segumpal daging hangat yang kenyal. Saya menelusuri sambil meremas-remas kecil. Sampai juga pada putingnya. Saya memilin putingnya dengan lembut dan Suster Vina pun mendesah.
Entah berapa lama saya dihisap dan saya merabai Suster Vina, sampai dia akhirnya bilang, "Mas... boleh ya..?" katanya memelas.
"Mangga Sus, dilanjut..?" tanya saya bingung.
Dan tanpa menjawab dia pun meloloskan CD-nya, dilemparkan di sisi ranjang, lalu dia naik ke ranjang dan mulai mengangkangkan kakinya di atas batang kejantanan saya.

Dan, "Bless..." dia memasukkan kemaluan saya pada lubangnya yang hangat dan sudah basah sekali.
"Aduh.. Mas.., kontolnya hangat dan enak lho... ohhhh..."
Lalu dia pun mulai menggoyang perlahan. Pertama dengan gerakan naik turun, lalu disusul dengan gerakan memutar. Wah.., suster ini rupanya sudah profesional sekali. Lubang senggamanya saya rasakan masih sangat sempit, makanya dia juga hanya berani gerak perlahan. Mungkin juga karena saya masih sakit. Lama sekali permainan itu dan memang dia tidak mengganti posisi, karena posisi yang memungkinkan hanya satu posisi. Saya tidur di bawah dan dia di atas tubuh saya.

Sampai saat itu belum ada tanda-tanda saya akan keluar, tetapi kalau tidak salah, dia sempat mengejang sekali. Tadi di pertengahan dan lemas sebentar, lalu mulai menggoyang lagi. Sampai tiba-tiba pintu kamarku dibuka dari luar, dan seorang suster masuk dengan tiba-tiba. Kaget sekali kami berdua, karena tidak ada alasan lain, jelas sekali kami sedang main. Apalagi posisinya baju dinas Suster Vina terbuka sampai perutnya, dan BH-nya juga sudah terlepas dan tergeletak di lantai.
Ternyata yang masuk suster Vita, dia langsung menghampiri dan bilang, "Teruskan saja Vin... gue cuman mau ikutan... memek gue udah gatel nich..!" katanya dengan santai.

Suster Vita pun mengelus dada saya yang agak bidang, dia ciumi seluruh wajah saya dengan lembut. Saya membalasnya dengan meremas dadanya. Dia diam saja, lalu saya buka kancingnya, terus langsung saya loloskan pakaian dinasnya. Saya buka sekalian BH-nya yang berenda tipis dan merangsang. Dadanya terlihat masih sangat kencang. Tinggal CD minim yang digunakannya yang belum saya lepaskan.

Suster Vina masih saja dengan aksinya naik turun dan kadang berputar. Saya lihat dadanya yang terguncang akibat gerakannya yang mulai liar. Lidah Suster Vita mulai memasuki rongga mulut saya dan langsung saya hisap ujung lidahnya yang menjulur itu. Tangan kiri saya mulai meraba di sekitar selangkangan Suster Vita dari luar. Basah sudah CD-nya, dengan perlahan saya tarik ke samping dan saya mendapatkan permukaan bulu halus menyelimuti liang kewanitaannya. Saya elus perlahan, baru kemudian sedikit menekan. Ketemu sudah klit-nya. Agak ke belakang saya rasakan semakin menghangat. Tersentuh olehku kemudian liang nikmat tersebut. Saya raba sampai tiga kali sebelum akhirnya memasukkan jari saya ke dalamnya. Saya mencoba memasukkan sedalam mungkin jari telunjuk saya. Kemudian disusul oleh jari tengah. Saya putar jari-jari saya di dalamnya. Baru kemudian saya kocok keluar masuk sambil memainkan jempol saya di klit-nya.

Dia mendesah ringan, sementara Suster Vina rebahan karena lelah di dadaku dengan pinggulnya tiada hentinya menggoyang kanan dan kiri. Suster Vita menyibak rambut panjang Suster Vina dan mulai menciumi punggung terbuka itu. Suster Vina semakin mengerang, mengerang, dan mengerang, sampai pada erangan panjang yang menandakan dia akan orgasme, dan semakin keras goyangan pinggulnya. Sementara saya sendiri mencoba mengimbangi dengan gerakan yang lebih keras dari sebelumnya, karena dari tadi saya tidak dapat terlalu bergoyang, takut luka saya menjadi sakit.

Suster Vina mengerang panjang sekali seperti orang sedang kesakitan, tetapi juga mirip orang kepedasan. Mendesis di antara erangannya. Dia sudah sampai rupanya, dan dia tahan dulu sementara, baru dicabutnya perlahan. Sekarang giliran Suster Vita, dilapnya dulu batang kemaluan saya yang basah oleh cairan kenikmatan, dikeringkan, baru dia mulai menaiki tubuh saya.

Ketika Suster Vita telah menempati posisinya, saya melihat Suster Vina mengelap liang kemaluannya dengan tissue yang diambilnya dari meja kecil di sampingku. Suster Vita seakan menunggang kuda, dia menggoyang maju mundur, perlahan tapi penuh kepastian. Makin lama makin cepat iramanya. Sementara kedua tangan saya asyik meremas-remas dadanya yang mengembung indah. Kenyal sekali rasanya, cukup besar ukurannya dan lebih besar dari miliknya Suster Vina. Yang ini tidak kurang dari 36C.

Sesekali saya mainkan putingnya yang mulai mengeras. Dia mendesis, hanya itu jawaban yang keluar dari mulutnya. Desisan itu sungguh manja kurasakan, sementara Suster Vina telah selesai dengan membersihkan liang hangatnya. Kemudian dia mulai lagi mengelus-elus badan telanjang Suster Vita dan juga memainkan rambutku, mengusapnya. Kemudian karena sudah cukup pemanasannya, dia mulai menaiki ranjang lagi. Dikangkangkannya kakinya yang jenjang di atas kepala saya. Setengah berjongkok gayanya saat itu dengan menghadap tembok di atas kepala saya. Kedua tangannya berpegangan pada bagian kepala ranjang.

Mulai disorongkannya liang kenikmatannya yang telah kering ke mulut saya. Dengan cepat saya julurkan lidah, lalu saya colek sekali dan menarik nafas, "Hhhmmm..." bau khas kewanitaannya. Saya jilat liangnya dengan lidah saya yang memang terkenal panjang. Saya mainkan lidah saya, mereka berdua mengerang bersamaan, kadang bersahutan. Saya lihat lubang pantatnya yang merah agak terbuka, lalu saya masukkan jari jempol ke dalam lubang pantatnya.
Suster Vina merintih kecil, "Auuww... mas nakal deh..!"
Lalu saya jilati lubang pantatnya yang sudah mulai basah itu, tapi kemudian, "Tuuuttt..!"
Saya kaget, "Suster kentut ya..?" tanya saya.
Suster Vina tertawa kecil lalu minta maaf. Lalu kembali saya teruskan jilatan saya.

Lama sekali permainannya, sampai tiba-tiba Suster Vita mengerang besar dan panjang serta mengejang. Setelah Suster Vita selesai, dia mencabut batang kejantanan saya, sedang lidah saya tetap menghajar liang kenikmatan Suster Vina. Sesekali saya menjilati klit-nya. Dia menggelinjang setiap kali lidah saya menyentuh klit-nya. Mendengar desisan Suster Vina sudah lemas dan beranjak turun dari posisinya, saya menyudahi permainan ini. Saya lunglai rasanya menghabisi dua suster sekaligus.

"Kasihan Mas Sony, nanti sembuhnya jadi lama... soalnya ngga sempet istirahat..!" kata Suster Vina.
"Iya dan kayanya kita akan setiap malam rajin minta giliran kaya malem ini." sahut suster Vita.
"Kalo itu dibuat system arisan saja." kata Suster Vina sadis sekali kedengarannya.
"Emangnya gue piala bergilir apa..?" kata saya dalam hati.

Malam itu saya tidur lelap sekali dan saya sempat minta Suster Vina menemaniku tidur, saya berjanji tiap malam, mereka dapat giliran menemani saya tidur, tetapi setelah mendapat jatah batin tentunya. Malam itu kami tidur berdekapan mesra sekali seperti pengantin baru dan sama-sama polos. Sampai jam 4 pagi, dia minta jatah tambahan dan kami pun bermain one on one (satu lawan satu, tidak keroyokan seperti semalam). Hot sekali dia pagi itu, karena kami lebih bebas tetapi yang kacau adalah setelah selesai. Saya merasa sakit karena luka kaki saya menjadi berdarah lagi. Jadi terpaksa ketahuan dech sama Suster Vita kalau ada sesi tambahan, dan mereka berdua pun ramai-ramai mengobati luka saya, sambil masih ingin melihat kejantanan dasyat yang meluluh lantakkan tubuh mereka semalaman.

Setelah itu, sekitar jam 5:00, saya kembali tidur sampai pagi jam 7:20. Saya dibangunkan untuk mandi pagi. Mandi pagi dibantu oleh Suster Vita dan sempat dihisap sampai keluar dalam mulutnya.

Pada pagi harinya, Dokter Vivi melihat keadaan saya.
"Gimana Mas Sony, masih sakit kakinya..?" katanya.
"Sudah lumayan Dok..!" kata saya.
Lalu, "Sekarang coba kamu tarik nafas lalu hembuskan, begitu berulang-ulang ya..!"
Dengan stetoskopnya, Dokter Vivi memeriksa tubuh saya. Saat stetoskopnya yang dingin itu menyentuh dada saya, seketika itu juga suatu aliran aneh menjalar di tubuh saya. Tanpa saya sadari, saya rasakan batang kejantanan saya mulai menegang. Saya menjadi gugup, takut kalau Dokter Vivi tahu. Tapi untung dia tidak memperhatikan gerakan di balik selimut saya. Namun setiap sentuhan stetoskopnya, apalagi setelah tangannya menekan-nekan ulu hati, semakin membuat batang kejantanan saya bertambah tegak lagi, sehingga cukup menonjol di balik selimut.

"Wah, kenapa kamu ini..? Kok itu kamu berdiri..? Terangsang saya ya..?" katanya.
Mati deh! Ternyata Dokter Vivi mengetahui apa yang terjadi diselangkangan saya. Aduh!
Lalu dia dengan tiba-tiba membuka selimut sambil berkata, "Sekarang saya mau periksa kaki mas..." katanya.
Dan, "Opsss... i did it again..!" terpampanglah kemaluan saya yang besar dihadapannya.
Gila! Dokter Vivi tertawa melihat batang kejantanan saya yang besar dan mengeras itu.
"Uh, ****** mas besar ya..?" kata Dokter Vivi serasa mengelus kemaluan saya dengan tangannya yang halus.
Wajah saya menjadi bersemu merah dibuatnya, sementara tanpa dapat dicegah lagi, senjata saya semakin bertambah tegak tersentuh tangan Dokter Vivi. Dokter Vivi masih mengelus-elus dan mengusap-usap batang kejantanan saya itu dari pangkal hingga ujung, juga meremas-remas biji kembar saya.

"Mmm... mas pernah bermain..?" katanya manja.
Saya menggeleng. Saya pura-pura agar ya...ya...ya....
"Aahhh..." saya mendesah ketika mulut Dokter Vivi mulai mengulum kemaluan saya.
Lalu dengan lidahnya yang kelihatannya sudah mahir, digelitiknya ujung kemaluan saya itu, membuat saya menggerinjal-gerinjal. Seluruh kemaluan saya sudah hampir masuk ke dalam mulut Dokter Vivi yang cantik itu. Dengan bertubi-tubi disedot-sedotnya kemaluan saya. Terasa geli dan nikmat sekali.

Dokter Vivi segera melanjutkan permainannya. Ia memasukkan dan mengeluarkan kejantanan saya dari dalam mulutnya berulang-ulang, naik-turun. Gesekan-gesekan antara kemaluan saya dengan dinding mulutnya yang basah membangkitkan kenikmatan tersendiri bagi saya.
"Auuh... aahhh..." akhirnya saya sudah tidak tahan lagi.
Batang kemaluan saya menyemprotkan sperma kental berwarna putih ke dalam mulut Dokter Vivi. Bagai kehausan, Dokter Vivi meneguk semua cairan kental tersebut sampai habis.
"Duh, masa baru begitu saja mas udah keluar." Dokter Vivi meledek saya yang baru bermain oral saja sudah mencapai klimaks.

"Dok.., saya... baru pertama kali... melakukan ini..." jawab saya terengah-engah (kena dia, tetapi memang saya akui hisapannya lebih hebat dari kedua suster tadi malam). Dokter Vivi tidak menjawab. Ia mencopot jas dokternya dan menyampirkannya di gantungan baju di dekat pintu. Kemudian ia menanggalkan kaos oblong yang dikenakannya, juga celana jeans-nya. Mata saya melotot memandangi payudara montoknya yang tampaknya seperti sudah tidak sabar ingin meloncat keluar dari balik BH-nya yang halus. Mata saya serasa mau meloncat keluar sewaktu Dokter Vivi mencopot BH-nya dan memelorotkan CD-nya. Astaga! Sungguh besar namun terpelihara dan kencang. Tidak ada tanda-tanda kendor atau lipatan-lipatan lemak di tubuhnya. Demikian pula pantatnya. Masih menggumpal bulat yang montok dan kenyal. Benar-benar tubuh paling sempurna yang pernah saya lihat selama hidup ini. Saya merasakan batang kejantanan saya mulai bangkit lebih tinggi menyaksikan pemandangan yang teramat indah ini.

Dokter Vivi kembali menghampiri saya. Ia menyodorkan payudaranya yang menggantung kenyal ke wajah saya. Tanpa mau membuang waktu, saya langsung menerima pemberiannya. Mulut saya langsung menyergap payudara nan indah ini. Sambil menyedot-nyedot puting susunya yang amat tinggi itu, mengingatkan saya ketika menyusu pada kedua suster tadi malam.
"Uuuhhh... Aaah..." Dokter Vivi mendesah-desah tatkala lidah saya menjilat-jilati ujung puting susunya yang begitu tinggi menantang.
Saya permainkan puting susu yang memang amat menggiurkan ini dengan bebasnya. Sekali-sekali saya gigit puting susunya itu. Tidak cukup keras memang, namun cukup membuat Dokter Vivi menggelinjang sambil meringis-ringis.

Tidak lama kemudian, saya menarik tangan Dokter Vivi agar ikut naik ke atas tempat tidur. Dokter Vivi memahami apa maksud saya. Ia langsung naik ke atas tubuh saya yang terbaring telentang di tempat tidur. Perlahan-lahan dengan tubuh sedikit menunduk, ia mengarahkan kemaluan saya ke lubang kewanitaannya yang di sekelilingnya ditumbuhi bulu-bulu lebat kehitaman. Lalu dengan cukup keras, setelah batang kejantanan saya sudah masuk 2 cm ke dalam liang senggamanya, ia menurunkan pantatnya, membuat senjata saya hampir tertelan seluruhnya di dalam lubang surganya. Saya melenguh keras dan menggerinjal-gerinjal cukup kencang waktu ujung kepala kemaluan saya menyentuh pangkal rahim Dokter Vivi. Menyadari bahwa saya mulai terangsang, Dokter Vivi menambah kualitas permainannya. Ia menggerak-gerakkan pantatnya, berputar-putar ke kiri ke kanan dan naik turun ke atas ke bawah. Begitu seterusnya berulang-ulang dengan tempo yang semakin lama semakin tinggi. Membuat tubuh saya menjadi meregang merasakan nikmat yang bukan main.

Saya merasa sudah hampir tidak tahan lagi. Batang keperkasaan saya sudah nyaris menyemprotkan cairan kenikmatan lagi. Namun saya mencoba menahannya sekuat tenaga dan mencoba mengimbangi permainan Dokter Vivi yang liar itu.
Akhirnya, "Aaahh..." jerit saya.
"Ouuhhh..!" desah Dokter Vivi.
Dokter Vivi dan saya menjerit keras. Kami berdua mencapai klimaks hampir bersamaan. Saya menyemprotkan air mani saya di dalam liang rahim Dokter Vivi yang masih berdenyut-denyut menjepit keperkasaan saya yang masih kelihatan tegang itu.

Lalu, wajah, mata, dahi, hidung saya habis diciumi oleh Dokter Vivi sambil berkata, "Terima kasih Mas Sony, ohhh... endanggg..!"
Kami tidak lama kemudian tertidur dalam posisi yang sama, yaitu kakinya melingkar di pinggang saya sambil memeluk tubuh saya dengan hangat. Nah itulah cerita saya.


TAMAT